Bulan ini jagoan kecilku (yang udah nggak kecil lagi)
berusia 5 tahun 5 bulan, usia yang masih childish untuk mengemban tugas sebagai
seorang pelajar. Memang saat ini dia masih sekolah di TK A, tapi tahukah bunda
bahwa dia sudah mendamba untuk segera masuk SD?! OMG, ada apa di SD hingga dia
begitu menanti kedatangannya dan saat ini pun dia sudah mulai memainkan
perannya yang seolah-olah adalah pelajar SD.
“Bentar tho, Bun, pe-ernya Habib masih banyak ini lho,” ini
jawaban yang paling sering dia katakan saat saya mengajaknya tidur malam.
Ahahaha ya, dia menamai kegiatan menggambar, mewarnai,
membaca-nya itu dengan sebutan pe-er. Padahal, tahukah sayang, pe-ermu nanti
saat SD jauh lebih sulit dari pe-ermu sekarang? #sedih
Sebenarnya saya dan suami type orang tua yang tidak ingin
buru-buru meng-SD-kan si kecil. Kami cenderung mengikuti iramanya. Bahkan jika
kebanyakan orang tua bangga bahwa anaknya bisa masuk SD di usia 6 tahun bahkan
kurang, kami bahkan tidak mengapa jika nantinya Habib masuk SD di usia 7 tahun.
Tapi masalahnya, apa Habib mau menunggu lagi??
Sejak usia 2 tahun dia sudah saya kenalkan pada kosakata,
melalui flash card (pengenalan flash card bisa dimulai sejak bayi berusia >6
bulan, dan saya tergolong terlambat). Pertama hanya iseng saat saya menunjukkan
lima buah kata padanya, secara bergantian. Selama tiga hari saya ulang-ulang, “Ini
bacanya car,” “Ini bacanya house,”dst, ucap saya sembari menunjukkan kertas
kecil bertuliskan car, house, dll. Hingga di hari keempat saat saya lagi-lagi
iseng mengevaluasi, lalu saya tanya, “Yang bacanya car yang mana ya, Dek?” eh
dia bisa nunjuk dengan benar tulisan car itu. Begitu juga empat kata yang lain.
Saya shock. Dia bisa.
Jadilah, saya langsung membuatkan sendiri flash card
untuknya, kosakata yang berstandar Indonesia (saat itu yang saya punya kosakata
berbahasa inggris).
ini jenis flash card-nya Habib |
Dari hari ke hari, hafalannya semakin banyak. Lalu saya
kembangkan kegemaran membacanya itu di leppi kecil dalam bentuk power
point.
Saat lagi seneng-senengnya belajar power point |
Dalam satu kali belajar dia mampu membaca kosakata, lalu mengenal
huruf, dan mengetahui bahasa inggrisnya. Semula saya khawatir dengan hobi belajarnya
itu, saya khawatir Habib kurang masa bermainnya. Tapi saya lihat, dia baik-baik
saja saat bermain dengan temannya, hanya memang dia sedikit pemalu.
Awal mengenalkannya pada kegiatan membaca, saya memberinya
kata-kata yang berhubungan dekat dengan kesehariannya. Jadi bisa dipastikan
flash card bikinan saya berisi tentang rumah, ayah, bunda, mobil, kursi, meja,
televisi, kulkas, dll. Lalu dilanjut dengan suka, sayang, senang, bahagia,
sedih, banyak, sedikit, besar, kecil, dll. Jadi misalkan saya menulis di buku tulis
ataupun di papan tulis satu kalimat yang berbunyi, Rumah Habib besar dan banyak. Bisa dipastikan dia lancar membacanya.
Hampir semua orang terdekat menyangka Habib bisa membaca di
umurnya yang belum genap 3 tahun itu, padahal sebenarnya dia hanya menghafal
saja (^_^)
Pak Guru Habib ^^ |
Habib 4 tahun |
Kini di usianya yang ke 5 tahun 5 bulan, dia sudah bisa
membaca buku cerita, koran, dan status facebook bundanya (hehe), dia mahir
brosing, you tube, berhitung ringan dan menulis juga. Alhamdulillah mengaji
juga, walau masih di iqro’ 3 terus. Saat ini dia sudah mendamba SD. Dan saya
masih terus berpikir apakah memang sudah saatnya Habib masuk SD usia 6 tahun
nanti? Apa mental dia sudah siap? Apa fisik dia sudah siap, sementara Habib
tergolong anak yang bertubuh imut? #dilema
Saya kemudian mulai memperhitungkan keberadaan Islamic Full Day School (IFDS)
yang lokasinya berdekatan dengan rumah, yang mana saya sangat menyukai kualitas
KBM-nya. Seperti sekolah swasta yang lainnya, SD ini masuk di hari senin-sabtu,
namun bedanya, di sekolah ini, hari sabtu hanya diisi kegiatan ekstrakurikuler
saja, tidak ada kegiatan belajar mengajar. Hari senin-jum’at adalah hari yang
padat bagi siswanya. Masuk pagi (06.45) hingga sore (14.30), ada kegiatan
sholat dhuha dan dhuhur juga makan bersama siang harinya. Guru tidak menerima
les tambahan karena siswa dibimbing hingga siswa menguasai materi. Yang saya
suka, satu kelas hanya berisi 20 siswa dengan 2 guru pembimbing. Dan ada satu hal
lagi yang membuat saya tertarik, tidak ada pe-er. Kenapa saya suka? Karena menurut
saya, dengan tidak adanya pe-er, siswa mempunyai waktu yang lebih lama untuk
belajar mata pelajaran untuk keesokan harinya (dan juga bermain). Yup! Mereka masih
SD. Mereka masih perlu bermain, tidak melulu dicekoki dengan pe-er.
Namun sayangnya, dibalik kualitas pendidikannya yang oke
itu, dia memiliki kelemahan. Kurangnya koneksi dengan yayasan lain, hingga
membuat SD ini kurang diakui.
Lalu, apa saya tetap akan mendaftarkannya di SD ini?
Kemudian saya mengenal sekolah lain yang letaknya tidak jauh
dari SDIT itu. Sebuah MIN. Kualitas baik (karena saya sempat beberapa kali
memberikan pelatihan psikologi di sana, maka saya sedikit banyak tahu) dan
cukup dikenal oleh khalayak, ada kegiatan sholat dhuha dan dhuhur juga. Namun ada
pe-er, les tambahan dan satu kelas berisi standar murid SD, yaitu 38 siswa.
Lalu, apa MIN ini yang akan saya pilih nantinya?
Sampai hari ini pun saya masih belum bisa condong ke salah
satu pilihan itu. Saya menunggu keputusan dari suami saya, karena saya makmumnya.
Yang bisa saya lakukan saat ini hanyalah terus memantau mental Habib, apakah
memang dia sudah cukup umur untuk masuk SD atau belum. Itu saja dulu.
Oh ya, jika bunda ingin si kecil gemar membaca, beliin flash
card aja. Bisa pesan di sini bunda
Tidak ada komentar:
Posting Komentar