Dan kerinduanku pada seorang Rina berhasil kutebus sore ini. Dan hingga detik ini pun aku masih memeluknya erat. Entah kenapa kristal-kristal bening dari mataku pun turut berhamburan keluar menyambut kedatangan Rina.
“Hei, kenapa?” tanya Rina yang sampai saat ini pun masih kurasakan logat Jakartanya begitu kental.
“Kangen,” jawabku sembari menatap matanya manja.
“Idih, dodol, pancaran matamu sama sekali nggak bilang tuh kalau kamu lagi kangen sama aku!” godanya.
“Yeee siapa yang bilang kalau aku kangen sama kamu. Aku kan Cuma bilang kangen. Itu artinya subyek yang dikenai kata kangen belum terdeteksi,” sanggahku sekenanya.
Rina menjitak kepalaku pelan.
“Bisa aja kan kangenku kutujukan sama Dera, hesti, atau bisa juga aku lagi ngangenin Azis,” aku terkikik pelan.
“Ya ya silahkan ngangenin Azis gih, tapi maaf kangen kamu kayaknya bertepuk sebelah tangan deh,” dan Rina pun tertawa.
Masih bergayut mesra di lengan Rina, kugandeng dia keluar dari stasiun, lalu menghentikan taksi dan kusebutkan sebuah tempat. Sesaat Rina memandangku dan tertawa.
“Ke café itu?”
Aku mengangguk pasti.
“Emang masih ada?”
“Hmm kayaknya selama persahabatan kita utuh, café itu juga bakalan tetap jaya deh,” ujarku lalu tertawa sendiri.
“Eh, Hesti sama Dera apa kabar, Dev?” tanya Rina kemudian setelah puas tertawa.
“Udah lama aku nggak lihat gosip di tivi, Rin, jadi aku kurang tahu kabar mereka,” jawabku sekenanya.
“Yah, kalau gitu kasihan café kita donk, diambang kebangkrutan,” dan kami pun tertawa lagi.
“Hahan gimana? Makin sayang kan?” tanyanya menggodaku.
“Sayang sekali nggak sesuai harapanmu, Rin, aku berencana mengakhiri aja hubunganku dengannya, Rin. Ugh, bener-bener nggak nyaman backstreet, Rin. Tekanan morilnya kerasa banget.”
“Yakin? Mau diakhiri?” tanya Rina kaget.
Aku mengangguk pasrah.
“Kita udah semester tujuh kan, Rin, udah waktunya fokus skripsi. Nah, kamu enak Azis dalam zona aman, lha kalau Hahan? Apa nggak bikin aku tambah pusing?”
“Ah, nggak juga, Dev. Sama aja, Azis juga nggak direstuin sama ortuku. Mereka malah udah nyiapin jodoh buatku. Ih, aku mah ogah dijodohin!”
“Hah?”
“Iya. Jadi ya ceritanya mereka marah-marah waktu tahu aku masih berhubungan dengan Azis. Tapi aku sih yakin Dev, kalau Azis itu yang terbaik untukku, dan aku berfikir, lama-lama ortuku juga akan setuju juga.”
Aku menatap Rina, nelangsa.
“Sayangnya aku nggak punya keyakinan sebesar itu, Rin,” bisikku.
Rina memandangku aneh. Sesuatu entah apa sepertinya tengah dia cari dari sorot mataku.
“Karena kamu nggak yakin kalau kamu sayang dia?”
Aku terbelalak.
“Karena kamu masih punya obsesi dengan seseorang?”
Aku menunduk.
“Karena kamu nggak bisa melupakan seseorang itu hingga sekarang?”
Kugigit bibir bawahku. Getir.
“Kenapa kamu biarkan dirimu terus berada di dalam lingkaran itu, Dev?”
Kuremas kedua tangaku lemah.
“Kesetiaanmu terlalu berharga untuk seseorang yang semu seperti dia.”
“Dua hari yang lalu di menelfon,” potongku sebelum Rina terus memojokkanku.
“Trus?”
“Lalu semalam dia ke rumah.”
“Trus?”
“Bercerita banyak hal tentang dirinya yang sama sekali tidak kumengerti,” ucapku lirih menahan hawa panas di sekitar area mataku.
“Lalu?”
“Lalu ya aku nggak ngerti kenapa dia tiba-tiba muncul lagi, menceritakan keadaan dia selama ini, dan tanpa basa-basi sedikit pun dia memintaku untuk menikah dengannya.”
Rina terkesiap.
“Menikah?”
Aku mengangguk pelan.
“Bagaimana mungkin hal tersebut bisa kuterima jika mengharapkan bertemu sedetik saja aku tak sanggup. Selanjutnya apakah menurutmu aku akan mengiyakan begitu saja setelah selama ini kita semua tahu betapa brengseknya dia. Aku tidak yakin sahabatku sendiri pun akan mendukungku untuk menerima cinta seorang playboy dan pemabuk seperti dia.”
Rina memelukku. Tak sepatah kata pun dia ungkapkan, tapi cukup membuatku mengerti apa maunya dan terlebih, apa mauku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar