Kisah ini masih tentang my baby. Tentang baby saya yang tak terlahir di
dunia. Yang Allah SWT minta kembali setelah enam bulan saya merasakan
kehadirannya di dalam rahim. Tentang baby saya yang langsung Allah SWT masukkan
ke surgaNya.
“Nanti kalau Pak Modinnya tanya nama, namanya Firdaus, Pak,” pesan suami
saya kepada Bapak saat beliau membawa baby saya pulang untuk dimandikan dan
dimakamkan. Jika memang meninggal di dalam kandungan dan masih berumur enam
bulan, haruskah dimandikan dan dishalatkan? Ya.
“Jika Janin tersebut sudah berumur empat bulan, maka status janin tersebut adalah makhluq yang bernyawa, dan dikatagorikan makluq hidup, sehingga harus dimandikan, dikafani, disholatkan, serta dikuburkan sebagaimana kalau mengubur orang yang meninggal dunia. Ini adalah pendapat Syafi’I, Ahmad dan Ishaq bin Ruhawaih serta Ibnu Taimiyah pengarang kitab “ Al-Muntaqa “. (An-Nawawi, Syareh Shahih Muslim, 7/48, Ibnu Rajab, Fathu al-Bari : 1/ 487, Al Mubarfukuri, Tuhfatu al-Ahwadzi, 4/ 102- 104 )
“Jika Janin tersebut sudah berumur empat bulan, maka status janin tersebut adalah makhluq yang bernyawa, dan dikatagorikan makluq hidup, sehingga harus dimandikan, dikafani, disholatkan, serta dikuburkan sebagaimana kalau mengubur orang yang meninggal dunia. Ini adalah pendapat Syafi’I, Ahmad dan Ishaq bin Ruhawaih serta Ibnu Taimiyah pengarang kitab “ Al-Muntaqa “. (An-Nawawi, Syareh Shahih Muslim, 7/48, Ibnu Rajab, Fathu al-Bari : 1/ 487, Al Mubarfukuri, Tuhfatu al-Ahwadzi, 4/ 102- 104 )
“Kenapa namanya Firdaus, Yah?” tanya
saya waktu itu, suami saya menjawab karena baby kami langsung kembali ke
FirdausNya. Semula saya ingin menambahkan Al Ayyat. Firdaus Al Ayyat,
dikarenakan dua bulan terakhir saat Firdaus masih di dalam rahim, saya dan
Firdaus selalu membaca ayat-ayat Allah minimal satu jam per hari. Untuk yang
satu ini, saya sangat bersyukur memutuskan untuk mengikuti ODOJ (One Day One
Juz) di saat Firdaus berusia empat bulan, sehingga kami serasa semakin dekat
ketika bertilawah. Saya masih mengingat bagaimana Firdaus selalu merespon tiap
ayat yang saya baca saat itu.
Namun kemudian saya berpikir dan saya
takut Al Ayyat dibelakang nama Firdaus menjadikan saya riya’ jika seseorang
menanyakan arti nama Firdaus Al Ayyat, akhirnya saya kembali ke satu nama yang
suami saya berikan. Firdaus. Tanpa bertanya, semua muslim/muslimah tahu
artinya.
Sehari setelah Firdaus dilahirkan, saya
langsung diperbolehkan pulang oleh dokter karena fisik saya baik-baik saja, hmm
untung saja dokter tidak memeriksa kondisi kejiwaan saya, hehehe... Di rumah,
kedua ibu saya (ibu kandung dan ibu mertua) langsung memberikan wejangan.
“Kamu itu sama saja dengan orang
melahirkan, kaki jangan ditekuk..”
“Jangan angkat-angkat dulu...”
“Dipakai korsetnya...”
“Diluruskan kakinya...”
“Nggak boleh nyapu dulu...”
Bla... bla... bla...
Tapi saya basic-nya tidak bisa diam.
Rumah kotor ya sapu. Piring kotor ya cuci. Nggak ada makanan ya masak.
Sementara kedua ibu saya masih bla bla bla.
Dua hari setelah itu, salah satu saudara
saya (yang sudah saya anggap sebagai ustadz saya), menyarankan untuk
meng-aqiqohi Firdaus. Saya mengernyit. Oh ya, haruskah diaqiqohi? Saat itu saya
belum sempat googling, namun berdasarkan penjelasan saudara saya dan juga
pemikiran saya sendiri, cukup saya mengerti mengapa harus ada aqiqoh untuk
Firdaus.
Jika pada saat pemakaman saja Firdaus
diperlakukan layaknya jenazah pada umumnya, karena ia sudah benar-benar menjadi
makhluk hidup, maka ia berhak mendapatkan aqiqohnya (walaupun pendapat aqiqoh
untuk janin yang meninggal di dalam kandungan masih simpang siur). Dan kami pun
memutuskan untuk menyelenggarakan aqiqoh di malam menjelang tujuh hari Firdaus.
Syaikh Shalih bin
Abdul Aziz Alu Syaikh mengatakan dalam Mukhtashor Ahkamul Hadyi wal Adhaahi : Jika
bayi itu keluar dari perut ibunya sambil menangis, maka ia perlu di aqiqahkan,
ini dengan kesepakatan ulama. Dan sebagian ulama berpendapat: demikian pula
jika telah ditiupkan ruh padanya (setelah usia kehamilan empat bulan, pent) dan
bergerak-gerak di dalam perut ibunya lalu keluar (gugur), maka ia telah menjadi
manusia yang memiliki jiwa. Dan aqiqah berkaitan dengan penebusan jiwa ini,
sebagaimana disabdakan oleh Rosululloh 'alaihish sholatu was salaam:“Setiap
anak yang lahir tergadai dengan aqiqahnya, disembelihkan untuknya pada hari
ketujuhnya dan diberi nama.”
Hari-hari setelah saya berada di rumah, saya disibukkan dengan tamu-tamu
yang berdatangan. Mulai dari tetangga, saudara dekat, saudara jauh, relasi
kerja bapak, ibu dan juga suami. Subhanallah.
Begitu banyak orang berdatangan untuk mengucapkan bela sungkawa pada kami
sementara mereka sama sekali belum mengenal Firdaus. Bukan hanya itu, klien
suami saya yang berada di luar jawa juga
sibuk menyatakan bela sungkawa dengan bentuk uang duka yang mereka transfer di
rekening suami saya. Hmm, saya benar-benar speechless.
Dua hari menjelang aqiqoh, rumah masih saja ramai. Kali ini pembicaraann
seputar menu makanan yang akan disajikan saat pengajian nanti. Si mbak yang
biasa bersih-bersih rumah, mencuci dan setrika, hari itu sibuk di dapur. Khusus
untuk hari itu hingga hari H, ia saya minta untuk menghandle dapur karena saya
percaya dengan kemampuannya. Masakannya benar-benar enak.
Oleh karena kesibukan menjelang hari H dan banyaknya saudara yang datang,
sejenak saya lupa dengan kesedihan. Saya sangat terhibur dengan kehadiran
mereka semua. Apalagi saya selalu ditemani dengan sulung saya, Habib. Ia begitu
tegar ketika mengetahui bahwa ia belum akan menjadi kakak. Saya ingat ketika
masih di rumah sakit kemarin, saat Habib pulang sekolah lalu menghampiri saya
yang terbaring (sebelum saya mendapatkan tindakan), ia langsung memeluk saya
dan bertanya sembari memegang perut saya yang masih buncit, “Adeknya masih ada
kan, Bun?” Ya Allah, rasanya saya ingin berlari dari tempat itu daripada
menjawab pertanyaan polosnya. Saat itu saya hanya menelan ludah sembari menahan
air mata. “Adeknya ke surga, Bib,” suami saya yang menjawab. Saya memalingkan
wajah dari mereka berdua. Lalu saya dengar suami saya bercerita tentang dedek
bayi dan surga. Setelah selesai bercerita, Habib memeluk saya dan menangis
lirih. Ah, kamu benar-benar ingin punya adek ya, Le?!
“Maafin bunda ya chayank,” ucap saya lirih sambil balas memeluknya.
Dan di hari itu, menjelang acara aqiqoh adiknya, Habib begitu tegar. Saya
tahu ia sedih karena tidak jadi punya adek, tapi hari itu Habib benar-benar
menjadi seorang kakak yang baik. Ia sibuk membantu menata kardus (biasanya
ditendang-tendang), menempel kertas di kardus tersebut (biasanya diuwel-uwel),
sampai saat hari H ia juga membantu menata piring. Dia tahu ini acara adiknya,
dan saat itu ia ingin menjadi seorang kakak. Ah, i love you so much, dear. Big
hug for you.
Dan setelah acara aqiqoh berlalu, tanpa saya duga, dimulailah episode duka
saya. Hampir tiap hari, tiap jam, bahkan tiap menit saya sangat-sangat
merindukan tendangan Firdaus di perut saya. Bahkan saya merindukan morning
sickness yang terus-terusan melanda tiap pagi, siang, sore maupun malam hari.
Semua tentang Firdaus sangat saya rindukan. Dan saya pun berkatarsis. Hampir
setiap hari. Dan saya juga terus mencari kesibukan. Saya mengajak Habib membuat
donat, cilok juga beberapa makanan yang memerlukan proses pembuatan yang lama
nantinya. Ya. Saya ingin terus-terusan disibukkan dengan aktivitas-aktivitas
tersebut. Hasil tidak penting buat saya. Seperti saat membuat donat, lalu
hasilnya tidak memuaskan, saya tidak mempermasalahkannya, saya hanya ingin
menyibukkan diri. Saya butuh pelarian.
Ketika kegiatan dapur tak kunjung mengurangi kesedihan, saya beralih pada
kegiatan lain yang menyita banyak waktu juga. Saya bongkar dua lemari pakaian
ibu saya. Saya keluarkan lalu saya atur ulang. Suami dan ibu saya beberapa kali
bertanya, “Kamu nggak capek tho?”
Dan, perlukah saya jawab pertanyaan itu?!
Ketika hal itu tidak juga bisa menepis rasa kehilangan, saya beralih pada
pekerjaan si mbak. Saya mulai mencuci pakaian, piring, menyapu dan mengepel
(rutinitas saya sebelum hamil). Si mbak menatap saya, nelangsa. “Saya kerja apa
kalo sudah dikerjakan Mbak Devi semua?” candanya. Saya menghela nafas, menatap
si mbak sekilas lalu beranjak ke kamar dan menangis (lagi). Saya terus dan
terus menangis. Di kamar tidur. Di kamar mandi. Di dapur. Di dada suami. Di
perut suami. Di bantal. Di depan TV. Bahkan di mobil juga. Saya benar-benar
masih sedih. Dan saya tidak bisa untuk tidak menangis. Seberapa banyak saya
menyebut namaNya, sebanyak itulah air mata saya tumpah. Saat saya bermurottal
(karena saya member ODOJ dan saya sedang nifas, maka saya harus murottal atau membaca
terjemah), maka sepanjang murottal itu juga saya tersedu. Entahlah. Makhluk
mungil itu benar-benar telah merebut perhatian dan cinta saya. Saya benar-benar
kewalahan mengatasi rasa kehilangan itu. Walau sudah mengikhlaskan, namun wajah
suami saat USG di rumah sakit dan juga ekspresi Habib benar-benar membuat saya
menyerah. Saya tidak bisa melupakan wajah kecewa mereka.
Astagfirullohhal’adzim...
Madiun, 050314
Tidak ada komentar:
Posting Komentar