Rabu, 05 Maret 2014

Tentang Kamu, Dek (Part 2)

Kisah ini masih tentang my baby. Tentang baby saya yang tak terlahir di dunia. Yang Allah SWT minta kembali setelah enam bulan saya merasakan kehadirannya di dalam rahim. Tentang baby saya yang langsung Allah SWT masukkan ke surgaNya.

“Nanti kalau Pak Modinnya tanya nama, namanya Firdaus, Pak,” pesan suami saya kepada Bapak saat beliau membawa baby saya pulang untuk dimandikan dan dimakamkan. Jika memang meninggal di dalam kandungan dan masih berumur enam bulan, haruskah dimandikan dan dishalatkan? Ya. 

“Jika Janin tersebut sudah berumur empat bulan, maka status janin tersebut adalah makhluq yang bernyawa, dan dikatagorikan makluq hidup, sehingga harus  dimandikan, dikafani, disholatkan, serta dikuburkan sebagaimana kalau mengubur orang yang meninggal dunia. Ini adalah pendapat Syafi’I, Ahmad dan Ishaq bin Ruhawaih serta Ibnu Taimiyah pengarang kitab “ Al-Muntaqa “. (An-Nawawi, Syareh Shahih Muslim, 7/48, Ibnu Rajab, Fathu al-Bari : 1/ 487, Al Mubarfukuri,  Tuhfatu al-Ahwadzi, 4/ 102- 104 )

“Kenapa namanya Firdaus, Yah?” tanya saya waktu itu, suami saya menjawab karena baby kami langsung kembali ke FirdausNya. Semula saya ingin menambahkan Al Ayyat. Firdaus Al Ayyat, dikarenakan dua bulan terakhir saat Firdaus masih di dalam rahim, saya dan Firdaus selalu membaca ayat-ayat Allah minimal satu jam per hari. Untuk yang satu ini, saya sangat bersyukur memutuskan untuk mengikuti ODOJ (One Day One Juz) di saat Firdaus berusia empat bulan, sehingga kami serasa semakin dekat ketika bertilawah. Saya masih mengingat bagaimana Firdaus selalu merespon tiap ayat yang saya baca saat itu.


Namun kemudian saya berpikir dan saya takut Al Ayyat dibelakang nama Firdaus menjadikan saya riya’ jika seseorang menanyakan arti nama Firdaus Al Ayyat, akhirnya saya kembali ke satu nama yang suami saya berikan. Firdaus. Tanpa bertanya, semua muslim/muslimah tahu artinya.

Sehari setelah Firdaus dilahirkan, saya langsung diperbolehkan pulang oleh dokter karena fisik saya baik-baik saja, hmm untung saja dokter tidak memeriksa kondisi kejiwaan saya, hehehe... Di rumah, kedua ibu saya (ibu kandung dan ibu mertua) langsung memberikan wejangan.

“Kamu itu sama saja dengan orang melahirkan, kaki jangan ditekuk..”

“Jangan angkat-angkat dulu...”

“Dipakai korsetnya...”

“Diluruskan kakinya...”

“Nggak boleh nyapu dulu...”

Bla... bla... bla...

Tapi saya basic-nya tidak bisa diam. Rumah kotor ya sapu. Piring kotor ya cuci. Nggak ada makanan ya masak. Sementara kedua ibu saya masih bla bla bla.

Dua hari setelah itu, salah satu saudara saya (yang sudah saya anggap sebagai ustadz saya), menyarankan untuk meng-aqiqohi Firdaus. Saya mengernyit. Oh ya, haruskah diaqiqohi? Saat itu saya belum sempat googling, namun berdasarkan penjelasan saudara saya dan juga pemikiran saya sendiri, cukup saya mengerti mengapa harus ada aqiqoh untuk Firdaus.

Jika pada saat pemakaman saja Firdaus diperlakukan layaknya jenazah pada umumnya, karena ia sudah benar-benar menjadi makhluk hidup, maka ia berhak mendapatkan aqiqohnya (walaupun pendapat aqiqoh untuk janin yang meninggal di dalam kandungan masih simpang siur). Dan kami pun memutuskan untuk menyelenggarakan aqiqoh di malam menjelang tujuh hari Firdaus.

Syaikh Shalih bin Abdul Aziz Alu Syaikh mengatakan dalam Mukhtashor Ahkamul Hadyi wal Adhaahi : Jika bayi itu keluar dari perut ibunya sambil menangis, maka ia perlu di aqiqahkan, ini dengan kesepakatan ulama. Dan sebagian ulama berpendapat: demikian pula jika telah ditiupkan ruh padanya (setelah usia kehamilan empat bulan, pent) dan bergerak-gerak di dalam perut ibunya lalu keluar (gugur), maka ia telah menjadi manusia yang memiliki jiwa. Dan aqiqah berkaitan dengan penebusan jiwa ini, sebagaimana disabdakan oleh Rosululloh 'alaihish sholatu was salaam:“Setiap anak yang lahir tergadai dengan aqiqahnya, disembelihkan untuknya pada hari ketujuhnya dan diberi nama.

Hari-hari setelah saya berada di rumah, saya disibukkan dengan tamu-tamu yang berdatangan. Mulai dari tetangga, saudara dekat, saudara jauh, relasi kerja bapak, ibu dan juga suami. Subhanallah. Begitu banyak orang berdatangan untuk mengucapkan bela sungkawa pada kami sementara mereka sama sekali belum mengenal Firdaus. Bukan hanya itu, klien suami saya yang  berada di luar jawa juga sibuk menyatakan bela sungkawa dengan bentuk uang duka yang mereka transfer di rekening suami saya. Hmm, saya benar-benar speechless.

Dua hari menjelang aqiqoh, rumah masih saja ramai. Kali ini pembicaraann seputar menu makanan yang akan disajikan saat pengajian nanti. Si mbak yang biasa bersih-bersih rumah, mencuci dan setrika, hari itu sibuk di dapur. Khusus untuk hari itu hingga hari H, ia saya minta untuk menghandle dapur karena saya percaya dengan kemampuannya. Masakannya benar-benar enak.

Oleh karena kesibukan menjelang hari H dan banyaknya saudara yang datang, sejenak saya lupa dengan kesedihan. Saya sangat terhibur dengan kehadiran mereka semua. Apalagi saya selalu ditemani dengan sulung saya, Habib. Ia begitu tegar ketika mengetahui bahwa ia belum akan menjadi kakak. Saya ingat ketika masih di rumah sakit kemarin, saat Habib pulang sekolah lalu menghampiri saya yang terbaring (sebelum saya mendapatkan tindakan), ia langsung memeluk saya dan bertanya sembari memegang perut saya yang masih buncit, “Adeknya masih ada kan, Bun?” Ya Allah, rasanya saya ingin berlari dari tempat itu daripada menjawab pertanyaan polosnya. Saat itu saya hanya menelan ludah sembari menahan air mata. “Adeknya ke surga, Bib,” suami saya yang menjawab. Saya memalingkan wajah dari mereka berdua. Lalu saya dengar suami saya bercerita tentang dedek bayi dan surga. Setelah selesai bercerita, Habib memeluk saya dan menangis lirih. Ah, kamu benar-benar ingin punya adek ya, Le?!

“Maafin bunda ya chayank,” ucap saya lirih sambil balas memeluknya.

Dan di hari itu, menjelang acara aqiqoh adiknya, Habib begitu tegar. Saya tahu ia sedih karena tidak jadi punya adek, tapi hari itu Habib benar-benar menjadi seorang kakak yang baik. Ia sibuk membantu menata kardus (biasanya ditendang-tendang), menempel kertas di kardus tersebut (biasanya diuwel-uwel), sampai saat hari H ia juga membantu menata piring. Dia tahu ini acara adiknya, dan saat itu ia ingin menjadi seorang kakak. Ah, i love you so much, dear. Big hug for you.

Dan setelah acara aqiqoh berlalu, tanpa saya duga, dimulailah episode duka saya. Hampir tiap hari, tiap jam, bahkan tiap menit saya sangat-sangat merindukan tendangan Firdaus di perut saya. Bahkan saya merindukan morning sickness yang terus-terusan melanda tiap pagi, siang, sore maupun malam hari. Semua tentang Firdaus sangat saya rindukan. Dan saya pun berkatarsis. Hampir setiap hari. Dan saya juga terus mencari kesibukan. Saya mengajak Habib membuat donat, cilok juga beberapa makanan yang memerlukan proses pembuatan yang lama nantinya. Ya. Saya ingin terus-terusan disibukkan dengan aktivitas-aktivitas tersebut. Hasil tidak penting buat saya. Seperti saat membuat donat, lalu hasilnya tidak memuaskan, saya tidak mempermasalahkannya, saya hanya ingin menyibukkan diri. Saya butuh pelarian.

Ketika kegiatan dapur tak kunjung mengurangi kesedihan, saya beralih pada kegiatan lain yang menyita banyak waktu juga. Saya bongkar dua lemari pakaian ibu saya. Saya keluarkan lalu saya atur ulang. Suami dan ibu saya beberapa kali bertanya, “Kamu nggak capek tho?”

Dan, perlukah saya jawab pertanyaan itu?!

Ketika hal itu tidak juga bisa menepis rasa kehilangan, saya beralih pada pekerjaan si mbak. Saya mulai mencuci pakaian, piring, menyapu dan mengepel (rutinitas saya sebelum hamil). Si mbak menatap saya, nelangsa. “Saya kerja apa kalo sudah dikerjakan Mbak Devi semua?” candanya. Saya menghela nafas, menatap si mbak sekilas lalu beranjak ke kamar dan menangis (lagi). Saya terus dan terus menangis. Di kamar tidur. Di kamar mandi. Di dapur. Di dada suami. Di perut suami. Di bantal. Di depan TV. Bahkan di mobil juga. Saya benar-benar masih sedih. Dan saya tidak bisa untuk tidak menangis. Seberapa banyak saya menyebut namaNya, sebanyak itulah air mata saya tumpah. Saat saya bermurottal (karena saya member ODOJ dan saya sedang nifas, maka saya harus murottal atau membaca terjemah), maka sepanjang murottal itu juga saya tersedu. Entahlah. Makhluk mungil itu benar-benar telah merebut perhatian dan cinta saya. Saya benar-benar kewalahan mengatasi rasa kehilangan itu. Walau sudah mengikhlaskan, namun wajah suami saat USG di rumah sakit dan juga ekspresi Habib benar-benar membuat saya menyerah. Saya tidak bisa melupakan wajah kecewa mereka.

Astagfirullohhal’adzim...

Saat ini, tiga minggu telah berlalu. Saya masih sering terisak lirih saat merindukannya. Dan saat menulis ini pun sesekali saya menghapus air mata. Suami yang setia menemani, sesekali harus memanggil saya untuk memastikan bahwa saya baik-baik saja. Saya tahu beliau juga kehilangan, tapi seperti halnya laki-laki pada umumnya, beliau mampu mengontrol emosinya. Sesekali saya juga melihatnya termangu, dan saya tahu apa yang ada dalam pikirannya. Namun saya enggan bertanya, biarlah beliau menikmati kesedihan dengan caranya sendiri.

Madiun, 050314

Tidak ada komentar:

Posting Komentar