Rabu, 05 Maret 2014

Tentang Kamu, Dek (Part 1)

Sampai hari ini saya masih dan selalu menyukai hujan. Menyukai aroma tanah basahnya sembari menantikan jutaan jarum itu menembus bumi Allah. Adalah sebuah kebiasaan bagi saya mendengungkan doa (meskipun kadang hanya di dalam hati) saat hujan mulai turun. Saya masih ingat doa yang sering saya panjatkan akhir-akhir ini, tepatnya sejak enam bulan yang lalu.

Enam bulan yang lalu, saya mendapati garis dua di test pack yang sudah saya beli beberapa bulan sebelumnya. Sujud syukur dan rasa bahagia yang membuncah seketika menguasai hati saya. Ada perasaan senang, cemas, gugup, tidak percaya, dan lain-lainnya yang muncul secara bersamaan.  Dan keajaiban itu terjadi. Sensitivitas tinggi, mood juga naik turun dengan fluktuasi yang tidak bisa ditebak. Kadang saya berpikir, bagaimana bisa janin yang masih berbentuk segumpal darah itu merubah semua hal? Kamar mandi saya yang baik-baik saja tiba-tiba selalu membuat mual setiap kali saya masuk. Suami saya yang baik-baik saja tiba-tiba sama sekali tidak ingin saya sentuh. Suara TV atau winamp di komputer yang baik-baik saja tiba-tiba menjadi masalah bagi saya. Bahkan makanan yang saya gemari hanya terbuang percuma sebelum sempat dicerna di dalam perut. Ya. Betapa ajaibnya gumpalan darah itu. Dan dari semua hal yang selalu ‘menyusahkan’ itu selalu saya sambut dengan belaian lembut di perut saya yang belum buncit tersebut. Subhanallah. Sungguh Allah SWT Maha Sempurna. Menciptakan suatu makhluk yang sama sekali belum terlihat namun mampu menimbulkan rasa cinta yang besar bagi saya.

Di usianya yang empat bulan, tendangan-tendangannya sudah bisa saya rasakan. Masih terasa seperti kedutan, namun sungguh luar biasa rasanya. Semakin bertambah hari semakin kuat tendangannya. Dan saya pun semakin jatuh cinta pada makhluk mungil di dalam rahim saya.

Hingga kemudian .....


Di usianya yang ke enam bulan, semua berubah. Saya kehilangan baby saya. Dua hari dia tidak bergerak karena sebelumnya saya panas tinggi. Ketika saya menyadari hal tersebut maka saya segera googling, lalu mempersiapkan mental untuk menghadapi kemungkinan buruk yang terjadi. Ketika pagi itu saya mencari dokter yang masih buka praktek (karena di hari itu dokter kandungan saya sedang cuti) dan tidak menemukannya, saya memutuskan untuk langsung ke rumah sakit menemui dokter kandungan lain di sana. Alhamdulillah dokter yang saya harapkan ada, namun saya harus mengantri karena dokter tersebut tengah menangani pasien yang sedang kuretase.

Satu jam lebih mengantri, akhirnya dokter tersebut masuk di ruang prakteknya. Saya mendapat giliran kedua. Setelah satu pasien sebelum saya selesai (yang ternyata mau kuretase), saya masuk di ruangan mungil tersebut. Berbincang sebentar dengan dokter lalu melakukan USG. Dan innalillai wa inna ilaihi roojiun. Baby saya benar-benar sudah tidak ada. Tidak ada pergerakan dan jantung juga sudah tidak berdenyut. Dan saya hanya bisa menarik nafas panjang. Belum bisa menangis. Saya lihat suami saya shock. Wajahnya berubah pucat. Bibirnya sama sekali tidak menampakkan senyum. Ya. Ada beberapa hal yang membuatnya shock. Pertama, karena baby kami laki-laki. Dan suami saya memang menginginkan anak kedua kami laki-laki lagi. Kedua, mungkin di dasar hatinya ia merasa bersalah karena sakit panas saya saat itu karena tertular dari sakitnya. Memang sebelum saya sakit, suami saya terlebih dahulu sakit. Ketiga, beliau sama sekali belum mempersiapkan mental untuk kemungkinan buruk ini. Saya tahu, suami saya sibuk akhir-akhir ini dan beliau belum sempat googling seperti saya. Dan biasanya saya yang selalu bercerita banyak hal tentang kehamilan dan persalinan, namun untuk kasus di atas saya memang belum sempat bercerita pada suami saya.

Ok. Setelah pemeriksaan, akhirnya saya dipindah di ruang tindakan. Ya. Baby kecilku ini akan dikeluarkan dengan proses normal. Di ruang tindakan inilah, saat masih menunggu dokter dan perawat, tumpahlah air mata saya. Saya terisak. Suami saya memberi pelukan sembari menenangkan saya. Beliau belum terlihat menangis. Ketika akhirnya beliau memberikan kabar duka ini pada ibunya (mertua saya), barulah saya dengar isaknya. Bahunya terguncang, saya membelainya. Kami benar-benar saling menguatkan saat itu. Kami tahu, inilah yang terbaik bagi kami semua.

Tiga jam menunggu (karena dokter masih melakukan tindakan terhadap pasien lain), akhirnya seorang perawat memberi saya obat rangsang yang dimasukkan melalui (maaf) vagina, setelah sebelumnya dokter memberi tahu saya bahwa belum tentu obat tersebut langsung bekerja, bisa jadi satu atau dua hari setelahnya, bahkan bisa sampai lima hari. Ya. Saya tahu itu. Saya sudah pasrah saat itu. Dan tanpa saya duga, satu jam setelahnya saat saya sudah kembali ke kamar inap yang saya pesan, saya mulai merasakan kontraksi itu. Masih dalam jangka waktu beberapa menit, bahkan saya masih bisa bercerita saat beberapa saudara mulai berdatangan menjenguk. Hingga kemudian jangka waktu itu kian pendek. Sepuluh menit. Lima menit. Tiga menit. Subhanallah. Saya ingin menangis. Saya merasakan kesakitan itu, namun sepertinya hati saya yang lebih sakit. Rasa kehilangan itu kini menguasai hati saya. Saya beristighfar. Memohon ampun. Bertasbih. Menyebut NamaNya. Menguatkan hati. Ya. Ini takdirNya. Pasti inilah yang terbaik.

Ketika jeda itu semakin pendek, saya sudah tidak kuat lagi. Sepertinya saya harus kembali ke ruang bersalin. Dengan diantar suami dan seorang perawat saya didorong di kursi roda. Sudah. Sakit ini kian menjalar. Dan siap tidak siap, dalam beberapa jam ke depan saya akan melahirkan baby ini.

Dua orang perawat memeriksa saya, mengecek pembukaan berapa. Masih pembukaan satu, katanya. Dan itu membuat saya beristighfar lagi. Jam lima sore kurang sekian menit. Perjalanan masih panjang. Saya harus menunggu pembukaan bertambah, minimal hingga pembukaan tiga.  Dan otomatis saya harus bersabar merasakan sakit. Menit berlalu sangat lambat bagi saya. Sakit semakin menguat. Suami masih setia disamping saya. Sementara sulung saya bersama eyang dan kakungnya di luar ruang bersalin bersama dengan embahnya (ibu mertua saya yang langsung datang begitu mendapat kabar, padahal beliau tinggal di luar kota), tantenya dan beberapa saudara lainnya.

Beberapa menit kemudian ketika saya merasakan mulai muncul keinginan untuk mengejan, perawat mengecek pembukaan lagi. Subhanallah. Sudah pembukaan tiga menuju ke empat. Dan saya sudah tidak kuat lagi. Tiba-tiba saja saya mengejan. Seonggok darah keluar. Mengejan lagi baby keluar beserta dengan plasentanya. Adzan maghrib berkumandang setelahnya. Dan rasa sakit itu hilang seketika. Perawat mengecek, apakah ada sisa-sisa di rahim saya. Sudah keluar semua, katanya. Saya menangis. Suami saya membelai pelan, “Istighfar, Bun,” katanya. Dan saya semakin terisak saat saya menyebut AsmaNya.

Lalu hanya sekian detik, saya tiba-tiba ingat doa saya saat-saat gerimis tiba, “Ya Allah, berilah kelancaran saat persalinan nanti.” Dan terbukti saya diberikan kelancaran saat persalinan, meskipun sebetulnya belum waktunya saya melahirkan baby saya. Satu hal lagi yang saya syukuri. Entah apa jadinya kalau dokter kandungan saya saat itu tidak cuti, proses persalinan saya pasti dipegang oleh dokter saya. Dan dokter saya cowok. Ah, saya tidak bisa membayangkan saat daerah kemaluan saya harus dilihat laki-laki lain selain suami saya. Alhamdulillah, bersyukur saya ke rumah sakit dan bertemu dengan dokter cantik yang baik hati, yang ternyata anak mantu dari bidan yang menangani persalinan anak pertama saya dulu. Dan di depan dokter cantik ini, saya tidak sungkan ataupun malu menyampaikan keluhan saya dan nyaman-nyaman saja saat dokter cantik ini memeriksa miss v saya. Dan dokter cantik ini juga selalu menguatkan saya, juga mensyukuri persalinan saya yang lancar tanpa menunggu berhari-hari, dan satu lagi, rahim sudah bersih hingga tidak diperlukan tindakan kuretase.

Saat memeriksa baby saya, beliau mengatakan terdapat hal aneh di pusar baby saya. Pusar yang seharusnya lurus, saat itu baby saya pusarnya spiral (mlungker), mungkin karena itulah baby kurang bisa menerima nutrisi dari saya (walaupun tiap bulan saya USG, dokter kandungan saya bilang BB baby saya bagus), terlebih saya terkena panas tinggi. Kemungkinan baby tidak kuat. Sayangnya, dokter cantik tersebut tidak bisa memastikan apakah pusarnya memang sejak awal sudah spiral, atau spiral tersebut akibat dari sakit panas saya. Dan saya tidak menyesali itu. Ya sudahlah. Biarlah itu menjadi rahasia Allah SWT. Ada beberapa hal yang tidak perlu kita ketahui karena keterbatasan manusia sebagai makhluk, dan biarlah Sang Pencipta saja yang mengetahuinya. Wallu’alam bisshawwab.

Ya. Apapun peristiwa yang terjadi dalam kehidupan kita, baik itu menyenangkan maupun menyedihkan, akan selalu kita temukan hikmah di balik peristiwa itu. Walaupun menyakitkan, yakinlah bahwa Allah SWT Maha Tahu. DIA sangat-sangat tahu apa yang terbaik untuk kita. 

"Allah tidak ada Tuhan melainkan Dia yang Maha Kekal lagi terus menerus mengurus makhlukNya, tidak mengantuk dan tidak tidur. KepunyaanNya 
apa yang di langit dan di bumi. Siapakah yang dapat memberi syafa'at 
di sisi Allah tanpa izinNya? Allah mengetahui apa-apa yang di 
hadapan mereka dan di belakang meraka, dan mereka tidak 
mengetahui apa-apa dari ilmu Allah melainkan apa yang 
dikehendakiNya. Kursi Allah meliputi langit dan bumi, 
Dan Allah tidak  merasa berat memelihara keduanya, 
dan Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar. 
(QS : Al-Baqarah : 255)


Madiun, 050314
~to be continued~

Tidak ada komentar:

Posting Komentar