Sampai hari ini saya masih dan selalu menyukai hujan. Menyukai aroma tanah
basahnya sembari menantikan jutaan jarum itu menembus bumi Allah. Adalah sebuah
kebiasaan bagi saya mendengungkan doa (meskipun kadang hanya di dalam hati)
saat hujan mulai turun. Saya masih ingat doa yang sering saya panjatkan
akhir-akhir ini, tepatnya sejak enam bulan yang lalu.
Enam bulan yang lalu, saya mendapati garis dua di test pack yang sudah saya beli beberapa bulan sebelumnya. Sujud
syukur dan rasa bahagia yang membuncah seketika menguasai hati saya. Ada
perasaan senang, cemas, gugup, tidak percaya, dan lain-lainnya yang muncul
secara bersamaan. Dan keajaiban itu
terjadi. Sensitivitas tinggi, mood juga naik turun dengan fluktuasi yang tidak
bisa ditebak. Kadang saya berpikir, bagaimana bisa janin yang masih berbentuk
segumpal darah itu merubah semua hal? Kamar mandi saya yang baik-baik saja
tiba-tiba selalu membuat mual setiap kali saya masuk. Suami saya yang baik-baik
saja tiba-tiba sama sekali tidak ingin saya sentuh. Suara TV atau winamp di
komputer yang baik-baik saja tiba-tiba menjadi masalah bagi saya. Bahkan
makanan yang saya gemari hanya terbuang percuma sebelum sempat dicerna di dalam
perut. Ya. Betapa ajaibnya gumpalan darah itu. Dan dari semua hal yang selalu ‘menyusahkan’
itu selalu saya sambut dengan belaian lembut di perut saya yang belum buncit
tersebut. Subhanallah. Sungguh Allah
SWT Maha Sempurna. Menciptakan suatu makhluk yang sama sekali belum terlihat
namun mampu menimbulkan rasa cinta yang besar bagi saya.
Di usianya yang empat bulan, tendangan-tendangannya sudah bisa saya
rasakan. Masih terasa seperti kedutan, namun sungguh luar biasa rasanya.
Semakin bertambah hari semakin kuat tendangannya. Dan saya pun semakin jatuh
cinta pada makhluk mungil di dalam rahim saya.
Hingga kemudian .....
Di usianya yang ke enam bulan, semua berubah. Saya kehilangan baby saya.
Dua hari dia tidak bergerak karena sebelumnya saya panas tinggi. Ketika saya
menyadari hal tersebut maka saya segera googling, lalu mempersiapkan mental
untuk menghadapi kemungkinan buruk yang terjadi. Ketika pagi itu saya mencari
dokter yang masih buka praktek (karena di hari itu dokter kandungan saya sedang
cuti) dan tidak menemukannya, saya memutuskan untuk langsung ke rumah sakit
menemui dokter kandungan lain di sana. Alhamdulillah dokter yang saya harapkan
ada, namun saya harus mengantri karena dokter tersebut tengah menangani pasien
yang sedang kuretase.
Satu jam lebih mengantri, akhirnya dokter tersebut masuk di ruang
prakteknya. Saya mendapat giliran kedua. Setelah satu pasien sebelum saya
selesai (yang ternyata mau kuretase), saya masuk di ruangan mungil tersebut.
Berbincang sebentar dengan dokter lalu melakukan USG. Dan innalillai wa inna ilaihi roojiun. Baby saya benar-benar sudah
tidak ada. Tidak ada pergerakan dan jantung juga sudah tidak berdenyut. Dan
saya hanya bisa menarik nafas panjang. Belum bisa menangis. Saya lihat suami
saya shock. Wajahnya berubah pucat. Bibirnya sama sekali tidak menampakkan
senyum. Ya. Ada beberapa hal yang membuatnya shock. Pertama, karena baby kami
laki-laki. Dan suami saya memang menginginkan anak kedua kami laki-laki lagi.
Kedua, mungkin di dasar hatinya ia merasa bersalah karena sakit panas saya saat
itu karena tertular dari sakitnya. Memang sebelum saya sakit, suami saya
terlebih dahulu sakit. Ketiga, beliau sama sekali belum mempersiapkan mental
untuk kemungkinan buruk ini. Saya tahu, suami saya sibuk akhir-akhir ini dan
beliau belum sempat googling seperti saya. Dan biasanya saya yang selalu
bercerita banyak hal tentang kehamilan dan persalinan, namun untuk kasus di
atas saya memang belum sempat bercerita pada suami saya.
Ok. Setelah pemeriksaan, akhirnya saya dipindah di ruang tindakan. Ya. Baby
kecilku ini akan dikeluarkan dengan proses normal. Di ruang tindakan inilah,
saat masih menunggu dokter dan perawat, tumpahlah air mata saya. Saya terisak.
Suami saya memberi pelukan sembari menenangkan saya. Beliau belum terlihat
menangis. Ketika akhirnya beliau memberikan kabar duka ini pada ibunya (mertua
saya), barulah saya dengar isaknya. Bahunya terguncang, saya membelainya. Kami
benar-benar saling menguatkan saat itu. Kami tahu, inilah yang terbaik bagi
kami semua.
Tiga jam menunggu (karena dokter masih melakukan tindakan terhadap pasien
lain), akhirnya seorang perawat memberi saya obat rangsang yang dimasukkan
melalui (maaf) vagina, setelah sebelumnya dokter memberi tahu saya bahwa belum
tentu obat tersebut langsung bekerja, bisa jadi satu atau dua hari setelahnya,
bahkan bisa sampai lima hari. Ya. Saya tahu itu. Saya sudah pasrah saat itu.
Dan tanpa saya duga, satu jam setelahnya saat saya sudah kembali ke kamar inap
yang saya pesan, saya mulai merasakan kontraksi itu. Masih dalam jangka waktu
beberapa menit, bahkan saya masih bisa bercerita saat beberapa saudara mulai
berdatangan menjenguk. Hingga kemudian jangka waktu itu kian pendek. Sepuluh
menit. Lima menit. Tiga menit. Subhanallah.
Saya ingin menangis. Saya merasakan kesakitan itu, namun sepertinya hati saya
yang lebih sakit. Rasa kehilangan itu kini menguasai hati saya. Saya
beristighfar. Memohon ampun. Bertasbih. Menyebut NamaNya. Menguatkan hati. Ya.
Ini takdirNya. Pasti inilah yang terbaik.
Ketika jeda itu semakin pendek, saya sudah tidak kuat lagi. Sepertinya saya
harus kembali ke ruang bersalin. Dengan diantar suami dan seorang perawat saya
didorong di kursi roda. Sudah. Sakit ini kian menjalar. Dan siap tidak siap,
dalam beberapa jam ke depan saya akan melahirkan baby ini.
Dua orang perawat memeriksa saya, mengecek pembukaan berapa. Masih
pembukaan satu, katanya. Dan itu membuat saya beristighfar lagi. Jam lima sore
kurang sekian menit. Perjalanan masih panjang. Saya harus menunggu pembukaan
bertambah, minimal hingga pembukaan tiga.
Dan otomatis saya harus bersabar merasakan sakit. Menit berlalu sangat
lambat bagi saya. Sakit semakin menguat. Suami masih setia disamping saya.
Sementara sulung saya bersama eyang dan kakungnya di luar ruang bersalin
bersama dengan embahnya (ibu mertua saya yang langsung datang begitu mendapat
kabar, padahal beliau tinggal di luar kota), tantenya dan beberapa saudara
lainnya.
Beberapa menit kemudian ketika saya merasakan mulai muncul keinginan untuk
mengejan, perawat mengecek pembukaan lagi. Subhanallah.
Sudah pembukaan tiga menuju ke empat. Dan saya sudah tidak kuat lagi. Tiba-tiba
saja saya mengejan. Seonggok darah keluar. Mengejan lagi baby keluar beserta
dengan plasentanya. Adzan maghrib berkumandang setelahnya. Dan rasa sakit itu
hilang seketika. Perawat mengecek, apakah ada sisa-sisa di rahim saya. Sudah
keluar semua, katanya. Saya menangis. Suami saya membelai pelan, “Istighfar,
Bun,” katanya. Dan saya semakin terisak saat saya menyebut AsmaNya.
Lalu hanya sekian detik, saya tiba-tiba ingat doa saya saat-saat gerimis
tiba, “Ya Allah, berilah kelancaran saat
persalinan nanti.” Dan terbukti saya diberikan kelancaran saat persalinan,
meskipun sebetulnya belum waktunya saya melahirkan baby saya. Satu hal lagi
yang saya syukuri. Entah apa jadinya kalau dokter kandungan saya saat itu tidak
cuti, proses persalinan saya pasti dipegang oleh dokter saya. Dan dokter saya
cowok. Ah, saya tidak bisa membayangkan saat daerah kemaluan saya harus dilihat
laki-laki lain selain suami saya. Alhamdulillah, bersyukur saya ke rumah sakit
dan bertemu dengan dokter cantik yang baik hati, yang ternyata anak mantu dari
bidan yang menangani persalinan anak pertama saya dulu. Dan di depan dokter
cantik ini, saya tidak sungkan ataupun malu menyampaikan keluhan saya dan nyaman-nyaman
saja saat dokter cantik ini memeriksa miss v saya. Dan dokter cantik ini juga
selalu menguatkan saya, juga mensyukuri persalinan saya yang lancar tanpa
menunggu berhari-hari, dan satu lagi, rahim sudah bersih hingga tidak
diperlukan tindakan kuretase.
Saat memeriksa baby saya, beliau mengatakan terdapat hal aneh di pusar baby
saya. Pusar yang seharusnya lurus, saat itu baby saya pusarnya spiral
(mlungker), mungkin karena itulah baby kurang bisa menerima nutrisi dari saya
(walaupun tiap bulan saya USG, dokter kandungan saya bilang BB baby saya bagus), terlebih saya
terkena panas tinggi. Kemungkinan baby tidak kuat. Sayangnya, dokter cantik
tersebut tidak bisa memastikan apakah pusarnya memang sejak awal sudah spiral,
atau spiral tersebut akibat dari sakit panas saya. Dan saya tidak menyesali
itu. Ya sudahlah. Biarlah itu menjadi rahasia Allah SWT. Ada beberapa hal yang
tidak perlu kita ketahui karena keterbatasan manusia sebagai makhluk, dan
biarlah Sang Pencipta saja yang mengetahuinya. Wallu’alam bisshawwab.
"Allah tidak ada Tuhan
melainkan Dia yang Maha Kekal lagi terus menerus mengurus makhlukNya, tidak
mengantuk dan tidak tidur. KepunyaanNya
apa yang di langit dan di bumi.
Siapakah yang dapat memberi syafa'at
di sisi Allah tanpa izinNya? Allah
mengetahui apa-apa yang di
hadapan mereka dan di belakang meraka, dan mereka
tidak
mengetahui apa-apa dari ilmu Allah melainkan apa yang
dikehendakiNya.
Kursi Allah meliputi langit dan bumi,
Dan Allah tidak merasa berat memelihara keduanya,
dan Allah
Maha Tinggi lagi Maha Besar.”
(QS : Al-Baqarah : 255)
Madiun, 050314
~to be continued~
Tidak ada komentar:
Posting Komentar