Kamis, 04 Februari 2010

fakta warung tenda

.................
Tanpa isyarat sedikitpun, tiba-tiba garis arsiran mulai turun dari langit.
“Hujan!” teriakku kaget.
Spontan kutangkap tangan Ziyan dan menariknya untuk berlari menuju sebuah warung tenda terdekat. Kucarikan tempat duduk untuk Ziyan disisiku. Kupastikan Ziyan tidak akan terkena air hujan. Beberapa orang kemudian mulai berdatangan untuk ikut berteduh. Ditengah alun-alun kota memang agak susah menemukan tempat untuk berteduh saat hujan turun tiba-tiba seperti ini. Satu-satunya tempat, ya tentu saja di warung-warung tenda macam ini.

“Kopi krim dua, bang,” pesanku pada pemilik warung tenda.
Ziyan menatapku heran,
“Tumben?”
Aku hanya tersenyum,
“Situasi darurat,” ujarku sekenanya

Kulihat Ziyan tertawa tertahan. Mungkin memang terlihat aneh dimata Ziyan, aku yang biasanya makan en minum selalu ngikut dan samasekali tidak bisa menentukan pilihan, tiba-tiba malam ini bisa dengan tegas meneriakkan, “kopi krim dua, bang.”
Ya sudahlah...

“Dingin, Zhy?” tanyaku saat melihat Ziyan merapatkan tangannya.
Ziyan meringis. Kulepas jacket tebalku dan kusodorkan padanya.

“Udah dibilangin kalo pergi malem tu pake jacket. Nah ini, nggak pake jacket, pake kaos tipis pula,” omelku kemudian.
Ziyan jadi ogah menerima jacketku.
“Nih pake, masa iya harus aku yang makein?”
Spontan langsung Ziyan ambil dari tanganku. Aku hanya tertawa kecil dan mengacak rambutnya.

Lima menit berlalu. Sepuluh menit. Lima belas menit.

Di menit ke duapuluh Ziyan menyenggol lenganku.
“Dingin ya?”
Aku menggeleng.
Ziyan menyentuh pergelanganku sejenak,
“Ih tangan abang dingin,” serunya tertahan.
Lalu Ziyan mengambil kedua tanganku dan memegangnya rapat-rapat.
“Ehm, bayangin deh abang di depan perapian yang apinya menyala lumayan besar, menikmati secangkir coklat panas sambil merebahkan tubuh di shofa yang empuk, pasti nanti terasa hangat deh.”
“Napa nggak bayangin mall kebakar aja biar terasa panas, nggak cuma hangat lagi?” sergahku.
Ziyan memonyongkan bibirnya. Itu tandanya dia ngambek.
“Iya deh perapian...” ujarku kemudian mengalah.
Dan kemudian Ziyan mulai menggosok-gosokkan kedua tangannya lalu menempelkannya pada punggung tanganku. Berulang-ulang Ziyan lakukan kegiatan tersebut. Sementara aku hanya menatapnya. Menikmati aktivitasnya tersebut dengan berbagai macam rasa berkecamuk di hatiku.

Hujan malam ini sepertinya memberiku kesan damai yang berkepanjangan. Sekian tahun lamanya aku mengenal Ziyan dan dia terus menganggapku sebagai abangnya, malam ini, aku seperti melihat Ziyan yang lain. Ziyan yang lebih dewasa dan anggun, tidak seperti biasanya yang manja dan keras kepala. Aku suka dengan perhatiannya malam ini. Memang bukan untuk pertama kalinya Ziyan memperlakukanku manis, tapi entah kenapa, malam ini kurasakan beda. Aku seperti merasakan debar.....

Segera kutarik tanganku dari Ziyan.
“Kenapa?” tanyanya dengan ekspresi wajah penuh tanda tanya.
“Nggak enak dilihat orang,” jawabku asal, padahal tentu saja bukan karena itu. Aku tiba-tiba merasa takut dengan istilah ‘debar’ yang sempat terbersit tadi.

Huft, hujan malam ini membuatku menjadi manusia paling aneh...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar