Mataku mulai basah. Butiran
bening mulai meluncur di pipi. Kutarik selimut tebalku. Kurangkum diriku
didalamnya. Bahuku terguncang hebat. Tanpa kusadari isak tangisku kian
membuncah. Tertahan. Hanya tarikan nafas panjang yang terdengar mendengus.
Seandainya hati ini layaknya
sebuah cawan. Maka cawan itu tengah terjatuh lalu pecah tercerai berai, saat
ini. Kepingannya berhamburan tak terkendali. Mengoyak di seluruh ruangan
jiwaku. Seakan semua sudutnya meringis terkena percikan pecahan tersebut.
Sakit. Hancur. Tak tertahankan lagi. Hingga untuk menyebut asmaNya aku juga tak
sanggup. Aku seperti merasakan ketidakadilan yang tengah terjadi pada diriku.
Tuhan, maafkan aku!!!
Bahuku kian terguncang dalam
isak dan diam.
........
Satu setengah tahun yang lalu.
Ibu tengah duduk di kursi
empuk yang sudah tidak nyaman lagi, dengan kepala ditekuk mengarah ke lantai
dan tatapan yang menghujam ke bawah. Tanpa kata. Tanpa ekspresi.
Jeda tercipta ratusan detik
lamanya.
Aku menarik nafas panjang. Aku
sangat memaklumi mengapa wanita yang beranjak tua, yang selalu kuhormati dan
kusayangi itu, tampak begitu sedih. Sama sedihnya sepertiku. Bahkan aku tak
bisa mengendalikan air mata ini yang terus saja mengalir di pipi, tanpa
sepengetahuan Ibu.
Baru saja aku memberi kabar
gembira pada Ibuku, sekaligus kabar buruk, seakan-akan aku telah menusuk
hatinya dengan belati secara perlahan. Menyakiti hati Ibuku dengan amat sangat.
Bahkan Ibu tidak bisa berkata apa-apa, kecuali mendaratkan tubuhnya di kursi
empuk yang telah usang itu.
Beberapa menit kebelakang aku
baru saja mengatakan pada Ibu bahwa aku akan segera menikah dalam waktu dekat.
Dengan ekspresi bahagia Ibu langsung memelukku. Tapi beberapa saat setelah itu,
tepatnya saat Ibu bertanya, “Dengan siapa kamu akan menikah, Nduk?” lalu
kujawab, “Dengan Mas Baskoro.”
Saat itulah Ibu langsung
melepas pelukanku, menatapku tajam, menggeleng tak percaya tanpa kata-kata,
lalu terduduk lemas.
Dalam penyesalanku karena
telah menyakiti hati Ibu, aku meminta maaf yang sebesar-besarnya pada Ibu,
dalam hati, karena saat ini sungguh aku seperti kehilangan kata-kata dan
keberanian untuk mengatakannya langsung pada Ibu.
Aku tahu mengapa Ibu sangat
terkejut saat kusebut nama itu. Karena aku akan menikah dengan seorang
pengusaha sepatu kulit sukses. Seorang guru di sebuah pesantren. Seorang pria
tangguh yang bertanggung jawab. Seorang yang sangat bisa diandalkan. Dan juga
seorang yang telah beristri..... dan juga memiliki seorang putri.....
Keputusanku mungkin memang
terkesan gila. Tapi aku tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Kulakukan ini semua
karena aku memang simpatik dan kagum dengan sosok Baskoro, yang kutahu usianya
jauh diatasku. Aku menghormatinya sebagaimana aku menghormati almarhum Ayah.
Ya, kupikir masuk akal, karena Baskoro adalah salah satu teman dekat almarhum Ayah
dulu. Mungkin karena alasan itu aku merasa segan dengan Baskoro.
Selain itu, ada alasan lain
yang tak bisa aku kendalikan. Saat ini ada seorang pria yang tengah
tergila-gila padaku. Dengan status yang sama. Telah beristri. Bedanya dia bukan
dari keluarga baik-baik. Hingga kupikir, jika memang harus menjadi istri kedua,
kenapa tidak dengan Baskoro saja yang jelas-jelas sudah sangat kukenal dan
sangat dekat dengan keluargaku. Alasan lain, setelah kepergian Ayah dua tahun
yang lalu, dan kemudian aku lulus kuliah menyandang gelar sarjana, saat itulah
aku melihat diriku berada dalam posisi yang sangat tidak nyaman. Aku belum
bekerja, dengan lima adikku yang masih kecil dan berstatus putri seorang janda
sederhana. Darimana Ibu harus membiayai kehidupan kami semua? Warung tenda yang
didirikan Ibu kurasa hanyalah cukup untuk makan sehari-hari saja, tidak untuk
membiayai sekolah adik-adikku. Mungkin karena itu, sedikit banyak aku berharap
semoga Baskoro bisa membantu perekonomian keluargaku.
Rida, kakakku satu-satunya
yang sudah menikah langsung melontarkan kalimat menyakitkan begitu dia
mendengar keputusanku. Dia memakiku sekian ratus detik lamanya. Aku hanya diam.
Tak ada sedikit pun yang bisa kulakukan kecuali tertunduk. Entah karena merasa
bersalah atau karena berusaha meredam emosi. Atau mungkin dua-duanya.
Hatiku miris saat melihat air
mata Ibu menetes di pipinya yang mulai keriput. Jiwaku terkoyak saat punggung
tangan wanita itu menyapu bening kristal yang membasahi pipi. Dua tahun lalu
aku melihat Ibu menangis sendirian di hari kepergian Ayah. Saat aku mendapatinya
terduduk di pinggiran tempat tidur, aku merengkuh bahunya dari belakang, saat
itulah Ibu buru-buru menghapus air matanya lalu melihatku dengan senyuman.
Sungguh, saat itu aku telah berjanji akan selalu membuat Ibu tersenyum, dan tak
akan menangis lagi.
Tapi apa yang kulihat
sekarang?
......
Hari pernikahan itu tetap
terjadi. Hanya ada aku, Baskoro, istri Baskoro dan Ibu, serta beberapa orang
yang berkepentingan dalam hal perkawinan.
Kulihat Ibu masih saja
menunduk. Sama sekali tidak melihatku. Dan masih dengan wajah yang tanpa
ekspresi. Hatiku benar-benar hancur. Di hari pernikahanku, aku sama sekali
tidak melihat senyum Ibu. Bahkan sekedar tatapannya. Bagaimana aku bisa
mendapatkan restunya?
Kutarik nafas dalam-dalam. Aku
benar-benar merasakan hawa yang sangat tidak nyaman. Ini adalah sebuah upacara
pernikahan. Tapi tak kulihat sebuah senyum pun. Kurasakan kian perih lukaku.
Akad nikah selesai dibacakan.
Kurengkuh tangan keriput Ibu.
Dengan isak tertahan, kucium tangan itu pelan. Aku tidak berani melihat Ibu. Hanya
dari ekor mataku, aku merasakan bahwa beliau sama sekali tidak melihatku juga.
Beliau lebih suka dalam kebisuannya yang panjang beberapa hari kebelakang ini.
Seakan bibirnya telah beliau kunci rapat-rapat, lalu membuang kunci tersebut ke
dasar laut hingga tak ada seorang pun yang akan kuasa menemukannya, termasuk
Ibu sendiri.
Walaupun aku memaklumi
perasaan Ibu, tapi jauh di dasar hatiku, aku tetap merasakan kekosongan itu.
Pernikahan yang kuharapkan ini benar-benar tidak bisa membuatku menarik nafas
lega. Bahkan aku merasakan beban yang sangat. Sebagai seorang anak, aku merasa
telah menjadi seorang anak durhaka. Perbuatanku samasekali tidak mencerminkan
perbuatan anak solihah. Membuat Ibu sedih, terluka bahkan menangis. Tapi aku
juga tidak bisa menyalahkan pernikahan ini. Keputusanku untuk menikah dengan
Baskoro dan menjadi istri kedua baginya bukanlah sesuatu yang salah dan haram.
Setelah pernikahanku dengan
Baskoro, aku langsung memilih tinggal dengan Baskoro, aku benar-benar tidak
bisa melihat wajah muram Ibu. Kupikir dengan segera meninggalkan rumah, aku
akan merasa lebih baik dan tidak merasa bersalah terus-menerus.
Perjalanan hidupku telah dimulai
dengan Baskoro. Kurasakan sangat berat jika menyadari suamiku harus membagi
cintanya. Ada perasaan cemburu yang berkepanjangan. Perasaan kesepian yang lama
saat suamiku harus tinggal di rumah istri pertamanya. Dan aku hanya bisa
menangis. Bersimpuh di tiap sujud malamku. Membayangkan wajah Ibu dan suamiku
secara bergantian.
Hari-hari pertama memang
terasa sungguh berat. Tapi saat aku mulai menyadari keadaan ini dan bisa
menerimanya dengan ikhlas, aku mulai bisa tersenyum. Aku mulai bisa menjalani
hari-hariku dengan nyaman. Aku sangat menikmati hari-hariku dalam sepekan yang
sangat sedikit dengan suamiku. Menyiapkan sarapan, menemaninya ke luar kota
saat harus mengambil barang dagangan, mengingatkannya untuk tidak lupa makan
malam, meluangkan waktu untuk jalan-jalan berdua, merengkuhnya saat melihatnya
kecapekan. Semua kunikmati. Sekali lagi, karena aku merasa waktuku bersamanya
sangat sedikit.
Sampai akhirnya aku hamil.
Di awal kehamilan, aku belum
berani memberitahukan hal tersebut pada Ibu. Bayangan wajah sedih Ibu masih
saja mengikutiku. Beberapa kali Baskoro memintaku untuk menelfon Ibu. Tapi
beberapa kali itu pula aku menolak.
Hingga di suatu malam ba’da
isya, aku tidak kuasa menahan rinduku pada Ibu, sekaligus membagi kebahagiaan
ini pada Ibu (semoga saja begitu).
Kutekan nomer telpon rumah
yang sudah kuhafal di luar kepala. Saat terdengar nada tuuuttt, sejenak kutarik
nafas dalam-dalam.
“Assalamualaikum...” terdengar
suara diseberang lembut.
Hatiku berdesir mendengar
suara itu. Ibu. Pekikku dalam hati.
“Hallo, assalamualaikum...”
“Wa’alaikum salam
warohmatulloh,” kujawab dengan pelan dan lirih, mengumpulkan segenap
keberanianku menjadi satu.
Jeda tercipta.
“Ain...”
Menetes air mataku saat
terdengar Ibu menyebut namaku.
“Ibu... apa... kabar?” terbata-bata
aku bertanya.
“Baik,” jawab Ibu singkat.
Jeda tercipta kembali.
Memberikan ruang bagi angin dan kesunyian untuk singgah di dalamnya.
Masih diam.
“Ibu...” kupanggil namanya
pelan. Antara takut dan kangen.
Tidak kudengar suara balasan.
Hatiku kian perih. Bahuku
terguncang tanpa isak. Hanya butiran bening ini menetes tiada terkontrol,
membanjiri pipi.
“Ibu... Ain hamil 4 bulan,”
ujarku akhirnya, masih pelan.
“Alhamdulillah...”
Kudengar suara Ibu diseberang
mengucap syukur. Apa itu pertanda Ibu juga merasakan kebahagiaan yang tengah
kurasakan? Apakah itu pertanda Ibu mulai membuka hatinya untuk memaafkan aku?
Gusti Allah, bolehkah aku
berharap demikian?
“Dijaga yang baik, jangan sampai
stress, Ain.”
Aku menangis lagi. Kali ini
ada sebentuk garis senyum tersirat. Bolehkah kusimpulkan bahwa itu adalah
bentuk perhatian dari Ibu?
“Iya, Bu, insya Alloh.”
“Ya.”
“Terima kasih, Bu,” kuputuskan
untuk mengakhiri pembicaraan saat aku merasa tidak bisa mengendalikan emosiku.
Setelah kututup telpon, aku
menangis sepuasnya. Hatiku masih saja sakit, kecewa, sedih walaupun tak bisa
dipungkiri bahwa aku juga sangat bahagia dengan sebentuk perhatian Ibu.
Walaupun itu sangat kecil.
Ibu....... Ainy kangen!!!
.........o0o.........
Hari ini ada syukuran tujuh
bulanan calon jabang bayiku. Baskoro sudah menyiapkan segalanya. Dari pagi dia
sibuk membersihkan rumah untuk acara syukuran nanti malam. Simbok sedari pagi
juga sudah bercengkerama dengan dapurnya. Aku turun tangan membantu simbok.
Hari ini aku sangat bersemangat. Beberapa kali simbok mencegahku untuk tidak
terlalu capek, tapi beberapa kali itu pula kukatakan aku baik-baik saja.
Menjelang sore, semua sudah
siap. Tempat untuk pembacaan doa, makanan, bingkisan untuk para tamu juga
kembang tujuh rupa sebagai simbolis untuk calon jabang bayiku.
Segera aku mandi setelah
kupastikan semua beres.
Selesai mandi dan menghias
diri secukupnya, aku segera menemui simbok kembali. Langkah ringanku terhenti
mendadak. Dadaku bergemuruh hebat saat aku melihat simbok tidak sendirian.
Simbok tengah merapikan piring dengan Liana, adikku yang saat ini masih kuliah
semester awal. Tapi bukan Liana yang membuatku shock. Tapi sosok lain
disamping simbok, yang tengah duduk membelakangiku.
“Ibu...” terasa parau suaraku
terdengar.
Wanita yang kupanggil Ibu itu
beranjak dari simbok dan berjalan pelan menghampiriku. Dan sekarang Ibu tepat
berdiri di depanku. Ibu tidak sedang melihatku, tapi Ibu tengah menatap calon
cucunya. Tangannya perlahan terulur. Menggapai perutku yang mulai buncit.
Hatiku tergetar. Bahuku terguncang pelan. Sebutir air mata meluncur cepat dari
mataku, dan mendarat dengan sempurna di punggung tangan Ibu.
Ibu langsung menatapku.
Sungguh... Setelah sekian lama, tatapan teduh itulah yang sangat kuharapkan
singgah di penglihatanku. Walau sebentar. Hanya beberapa detik dari waktu yang aku
punya.
“Ain...”
“Ibu, maafin Ain...”
Ibu memelukku. Merengkuhku
dalam kehangatannya. Aku tersedu di bahunya. Sehebat apapun seorang anak,
sesukses apapun seorang anak, pastilah ingin merasakan saat-saat seperti ini.
Merasakan pelukan seorang Bunda. Apalagi aku yang bukan apa-apa dan bukan
siapa-siapa. Sangat merindukan saat-saat seperti ini, tentunya.
........o0o.........
Dua bulan berikutnya, putriku
terlahir sempurna di dunia. Dengan ditemani suami, Ibu juga Lyliana, aku
membawa Refa, nama yang diberikan suamiku untuk bidadariku, pulang ke rumah.
Refa terlahir sempurna dengan kulit putih, hidung mancung, dan pipi yang sangat
chubby. Satu lagi yang kusukai dari Rafa, rambutnya yang sedikit
berombak, persis dengan rambutku. Melihatnya seperti melihat kesempurnaan
hidup. Seakan tiada keinginan apa-apa lagi yang kupunya. Refa saja sudah cukup.
Hari demi hari. Minggu demi
minggu. Bulan demi bulan berlalu. Aku sangat menikmati statusku sebagai seorang
Ibu. Melihatnya tumbuh sangatlah menghiburku, memberiku kebahagiaan yang
berlimpah saat aku merasa kesepian ditinggal suamiku. Hingga saat Refa
menjelang berusia 9 bulan, aku dikejutkan oleh kedatangan Sylvi, suami pertama
Baskoro. Kehadirannya benar-benar membuatku bagai seekor hewan peliharaan yang
sudah merasa nyaman dengan majikannya kemudian harus dilepas di tengah jalanan.
Aku merasa telah keluar dari area rasa nyaman. Dan aku belum siap untuk ini.
Sylvi datang dengan paras
memerah, sepertinya menahan amarah, tidak seperti biasanya yang cukup terlihat
familiar. Benar saja, tanpa kutahu maksud kedatangannya, dia langsung memarahiku.
Dia bilang gara-gara aku punya anak, Baskoro jadi lebih banyak meluangkan waktu
untukku dan Refa. Uang Baskoro juga banyak tersita untuk keperluan Refa,
termasuk juga susu Refa yang mahal tentunya. Sylvi benar-benar marah, marah dan
marah.
Jika sebelumnya aku selalu
merasa harus mempertahankan hidupku dengan Baskoro, kali ini aku seperti
enggan. Aku merasa dihina dan didzolimi hingga batas yang tidak bisa
kukendalikan. Aku juga marah dengan Sylvi, hanya bedanya, aku menyimpannya
dalam hati. Tiba-tiba aku merasa tidak berharga. Aku harus keluar dari semua
ini. Aku harus membiarkan Baskoro dengan pilihannya. Aku tidak bisa menyalahkan
Sylvi, karena baru saja aku mengetahui yang sebenarnya bahwa usaha yang
dirintis oleh Baskoro selama ini adalah warisan dari orang tua Sylvi, dalam
artian, Baskoro tidak memiliki apa-apa.
Aku benar-benar terkejut
dengan statement-statement yang dilontarkan Sylvi. Jadi selama ini, aku
hanya menjadi benalu bagi Sylvi?! Sungguh, aku tidak bisa memaafkan diriku
sendiri!
Sylvi masih saja menghujaniku
dengan kalimat-kalimat pedasnya saat kurasakan kepalaku begitu pusing,
tulang-tulang tubuhku terasa lunglai, dan penglihatanku mulai kabur, dan hanya
teriakan tertahan dari bibir Sylvi yang kudengar menyebut namaku, hingga
akhirnya aku terkapar...
.........o0o.........
Mataku terbuka pelan saat
kudengar senandung Al-Qur’an terdengar lirih ditelingaku. Saat kucoba untuk
bangun, kurasakan kepalaku begitu berat dan kemudian terpuruk lagi di bantal.
Wanita yang tengah memakai mukena dan membacakan Al-Qur’an itu menghampiriku.
“Ibu...” pekikku dalam hati.
Ibu membantuku duduk
bersandar. Beliau mengambilkan segelas air putih untukku. Tanganku gemetar
meraih gelas itu. Dibantu Ibu aku meneguk air putih itu sedikit. Setelah itu, Ibu
meletakkannya kembali di meja. Kulihat wajah Ibu sekilas. Matanya basah. Jeda
masih tercipta diantara kami. Tiada sepatah kata pun yang berani keluar dari
bibirku. Aku benar-benar membisu. Demikian juga Ibu. Ibu hanya menatapku.
Mungkinkah Ibu tahu apa yang baru saja terjadi? Bagaimana Ibu bisa sampai
disini? Dimana Refa? Dimana suamiku? Begitu banyak pertanyaan yang ingin
kulontarkan, tapi bibirku masih rapat. Hanya mataku yang terus menyelidik,
mencari tahu ada apa dengan Ibu?
Kulihat sebutir kristal bening
meluncur di pipi Ibu. Spontan aku menghapusnya. Jariku menyentuh pipinya yang
keriput. Sudahlah, biarkan aku kembali pada Ibu saja. Menemani Ibu di masa
tuanya, terikku dalam hati, menahan amarahku terhadap keegoisanku.
“Ibu...” panggilku pelan,
tertahan.
Ibu tersenyum tipis. Beliau
mengusap dahiku pelan.
“Sudahlah, ikhlaskan semua, Nduk...”
lirih kudengar suara Ibu, seakan terhadang oleh air mata yang ditahannya.
Aku memeluk Ibu erat. Ibu
membelai rambutku pelan. Di dalam pelukan Ibu, aku melihat Refa tengah
digendong oleh Liana. Aku tersenyum diantara kesedihanku.
Ya, Ibu benar. Aku harus mengikhlaskan semua,
kecuali Refa. Apapun yang terjadi aku akan tetap mempertahankan Refa. Karena
dia lah satu-satunya hal terindah yang kupunya. Satu-satunya energi yang mampu
menguatkanku. Refa, maafkan Ibu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar