Rabu, 24 Oktober 2012

Tak Seindah Senyum Ibu


Mataku mulai basah. Butiran bening mulai meluncur di pipi. Kutarik selimut tebalku. Kurangkum diriku didalamnya. Bahuku terguncang hebat. Tanpa kusadari isak tangisku kian membuncah. Tertahan. Hanya tarikan nafas panjang yang terdengar mendengus.
Seandainya hati ini layaknya sebuah cawan. Maka cawan itu tengah terjatuh lalu pecah tercerai berai, saat ini. Kepingannya berhamburan tak terkendali. Mengoyak di seluruh ruangan jiwaku. Seakan semua sudutnya meringis terkena percikan pecahan tersebut. Sakit. Hancur. Tak tertahankan lagi. Hingga untuk menyebut asmaNya aku juga tak sanggup. Aku seperti merasakan ketidakadilan yang tengah terjadi pada diriku. Tuhan, maafkan aku!!!
Bahuku kian terguncang dalam isak dan diam.
........
Satu setengah tahun yang lalu.



Ibu tengah duduk di kursi empuk yang sudah tidak nyaman lagi, dengan kepala ditekuk mengarah ke lantai dan tatapan yang menghujam ke bawah. Tanpa kata. Tanpa ekspresi.
Jeda tercipta ratusan detik lamanya.
Aku menarik nafas panjang. Aku sangat memaklumi mengapa wanita yang beranjak tua, yang selalu kuhormati dan kusayangi itu, tampak begitu sedih. Sama sedihnya sepertiku. Bahkan aku tak bisa mengendalikan air mata ini yang terus saja mengalir di pipi, tanpa sepengetahuan Ibu.
Baru saja aku memberi kabar gembira pada Ibuku, sekaligus kabar buruk, seakan-akan aku telah menusuk hatinya dengan belati secara perlahan. Menyakiti hati Ibuku dengan amat sangat. Bahkan Ibu tidak bisa berkata apa-apa, kecuali mendaratkan tubuhnya di kursi empuk yang telah usang itu.
Beberapa menit kebelakang aku baru saja mengatakan pada Ibu bahwa aku akan segera menikah dalam waktu dekat. Dengan ekspresi bahagia Ibu langsung memelukku. Tapi beberapa saat setelah itu, tepatnya saat Ibu bertanya, “Dengan siapa kamu akan menikah, Nduk?” lalu kujawab, “Dengan Mas Baskoro.”
Saat itulah Ibu langsung melepas pelukanku, menatapku tajam, menggeleng tak percaya tanpa kata-kata, lalu terduduk lemas.
Dalam penyesalanku karena telah menyakiti hati Ibu, aku meminta maaf yang sebesar-besarnya pada Ibu, dalam hati, karena saat ini sungguh aku seperti kehilangan kata-kata dan keberanian untuk mengatakannya langsung pada Ibu.
Aku tahu mengapa Ibu sangat terkejut saat kusebut nama itu. Karena aku akan menikah dengan seorang pengusaha sepatu kulit sukses. Seorang guru di sebuah pesantren. Seorang pria tangguh yang bertanggung jawab. Seorang yang sangat bisa diandalkan. Dan juga seorang yang telah beristri..... dan juga memiliki seorang putri.....
Keputusanku mungkin memang terkesan gila. Tapi aku tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Kulakukan ini semua karena aku memang simpatik dan kagum dengan sosok Baskoro, yang kutahu usianya jauh diatasku. Aku menghormatinya sebagaimana aku menghormati almarhum Ayah. Ya, kupikir masuk akal, karena Baskoro adalah salah satu teman dekat almarhum Ayah dulu. Mungkin karena alasan itu aku merasa segan dengan Baskoro.
Selain itu, ada alasan lain yang tak bisa aku kendalikan. Saat ini ada seorang pria yang tengah tergila-gila padaku. Dengan status yang sama. Telah beristri. Bedanya dia bukan dari keluarga baik-baik. Hingga kupikir, jika memang harus menjadi istri kedua, kenapa tidak dengan Baskoro saja yang jelas-jelas sudah sangat kukenal dan sangat dekat dengan keluargaku. Alasan lain, setelah kepergian Ayah dua tahun yang lalu, dan kemudian aku lulus kuliah menyandang gelar sarjana, saat itulah aku melihat diriku berada dalam posisi yang sangat tidak nyaman. Aku belum bekerja, dengan lima adikku yang masih kecil dan berstatus putri seorang janda sederhana. Darimana Ibu harus membiayai kehidupan kami semua? Warung tenda yang didirikan Ibu kurasa hanyalah cukup untuk makan sehari-hari saja, tidak untuk membiayai sekolah adik-adikku. Mungkin karena itu, sedikit banyak aku berharap semoga Baskoro bisa membantu perekonomian keluargaku.
Rida, kakakku satu-satunya yang sudah menikah langsung melontarkan kalimat menyakitkan begitu dia mendengar keputusanku. Dia memakiku sekian ratus detik lamanya. Aku hanya diam. Tak ada sedikit pun yang bisa kulakukan kecuali tertunduk. Entah karena merasa bersalah atau karena berusaha meredam emosi. Atau mungkin dua-duanya.
Hatiku miris saat melihat air mata Ibu menetes di pipinya yang mulai keriput. Jiwaku terkoyak saat punggung tangan wanita itu menyapu bening kristal yang membasahi pipi. Dua tahun lalu aku melihat Ibu menangis sendirian di hari kepergian Ayah. Saat aku mendapatinya terduduk di pinggiran tempat tidur, aku merengkuh bahunya dari belakang, saat itulah Ibu buru-buru menghapus air matanya lalu melihatku dengan senyuman. Sungguh, saat itu aku telah berjanji akan selalu membuat Ibu tersenyum, dan tak akan menangis lagi.
Tapi apa yang kulihat sekarang?
......
Hari pernikahan itu tetap terjadi. Hanya ada aku, Baskoro, istri Baskoro dan Ibu, serta beberapa orang yang berkepentingan dalam hal perkawinan.
Kulihat Ibu masih saja menunduk. Sama sekali tidak melihatku. Dan masih dengan wajah yang tanpa ekspresi. Hatiku benar-benar hancur. Di hari pernikahanku, aku sama sekali tidak melihat senyum Ibu. Bahkan sekedar tatapannya. Bagaimana aku bisa mendapatkan restunya?
Kutarik nafas dalam-dalam. Aku benar-benar merasakan hawa yang sangat tidak nyaman. Ini adalah sebuah upacara pernikahan. Tapi tak kulihat sebuah senyum pun. Kurasakan kian perih lukaku.
Akad nikah selesai dibacakan.
Kurengkuh tangan keriput Ibu. Dengan isak tertahan, kucium tangan itu pelan. Aku tidak berani melihat Ibu. Hanya dari ekor mataku, aku merasakan bahwa beliau sama sekali tidak melihatku juga. Beliau lebih suka dalam kebisuannya yang panjang beberapa hari kebelakang ini. Seakan bibirnya telah beliau kunci rapat-rapat, lalu membuang kunci tersebut ke dasar laut hingga tak ada seorang pun yang akan kuasa menemukannya, termasuk Ibu sendiri.
Walaupun aku memaklumi perasaan Ibu, tapi jauh di dasar hatiku, aku tetap merasakan kekosongan itu. Pernikahan yang kuharapkan ini benar-benar tidak bisa membuatku menarik nafas lega. Bahkan aku merasakan beban yang sangat. Sebagai seorang anak, aku merasa telah menjadi seorang anak durhaka. Perbuatanku samasekali tidak mencerminkan perbuatan anak solihah. Membuat Ibu sedih, terluka bahkan menangis. Tapi aku juga tidak bisa menyalahkan pernikahan ini. Keputusanku untuk menikah dengan Baskoro dan menjadi istri kedua baginya bukanlah sesuatu yang salah dan haram.
Setelah pernikahanku dengan Baskoro, aku langsung memilih tinggal dengan Baskoro, aku benar-benar tidak bisa melihat wajah muram Ibu. Kupikir dengan segera meninggalkan rumah, aku akan merasa lebih baik dan tidak merasa bersalah terus-menerus.
Perjalanan hidupku telah dimulai dengan Baskoro. Kurasakan sangat berat jika menyadari suamiku harus membagi cintanya. Ada perasaan cemburu yang berkepanjangan. Perasaan kesepian yang lama saat suamiku harus tinggal di rumah istri pertamanya. Dan aku hanya bisa menangis. Bersimpuh di tiap sujud malamku. Membayangkan wajah Ibu dan suamiku secara bergantian.
Hari-hari pertama memang terasa sungguh berat. Tapi saat aku mulai menyadari keadaan ini dan bisa menerimanya dengan ikhlas, aku mulai bisa tersenyum. Aku mulai bisa menjalani hari-hariku dengan nyaman. Aku sangat menikmati hari-hariku dalam sepekan yang sangat sedikit dengan suamiku. Menyiapkan sarapan, menemaninya ke luar kota saat harus mengambil barang dagangan, mengingatkannya untuk tidak lupa makan malam, meluangkan waktu untuk jalan-jalan berdua, merengkuhnya saat melihatnya kecapekan. Semua kunikmati. Sekali lagi, karena aku merasa waktuku bersamanya sangat sedikit.
Sampai akhirnya aku hamil.
Di awal kehamilan, aku belum berani memberitahukan hal tersebut pada Ibu. Bayangan wajah sedih Ibu masih saja mengikutiku. Beberapa kali Baskoro memintaku untuk menelfon Ibu. Tapi beberapa kali itu pula aku menolak.
Hingga di suatu malam ba’da isya, aku tidak kuasa menahan rinduku pada Ibu, sekaligus membagi kebahagiaan ini pada Ibu (semoga saja begitu).
Kutekan nomer telpon rumah yang sudah kuhafal di luar kepala. Saat terdengar nada tuuuttt, sejenak kutarik nafas dalam-dalam.
“Assalamualaikum...” terdengar suara diseberang lembut.
Hatiku berdesir mendengar suara itu. Ibu. Pekikku dalam hati.
“Hallo, assalamualaikum...”
“Wa’alaikum salam warohmatulloh,” kujawab dengan pelan dan lirih, mengumpulkan segenap keberanianku menjadi satu.
Jeda tercipta.
“Ain...”
Menetes air mataku saat terdengar Ibu menyebut namaku.
“Ibu... apa... kabar?” terbata-bata aku bertanya.
“Baik,” jawab Ibu singkat.
Jeda tercipta kembali. Memberikan ruang bagi angin dan kesunyian untuk singgah di dalamnya.
Masih diam.
“Ibu...” kupanggil namanya pelan. Antara takut dan kangen.
Tidak kudengar suara balasan.
Hatiku kian perih. Bahuku terguncang tanpa isak. Hanya butiran bening ini menetes tiada terkontrol, membanjiri pipi.
“Ibu... Ain hamil 4 bulan,” ujarku akhirnya, masih pelan.
“Alhamdulillah...”
Kudengar suara Ibu diseberang mengucap syukur. Apa itu pertanda Ibu juga merasakan kebahagiaan yang tengah kurasakan? Apakah itu pertanda Ibu mulai membuka hatinya untuk memaafkan aku?
Gusti Allah, bolehkah aku berharap demikian?
“Dijaga yang baik, jangan sampai stress, Ain.”
Aku menangis lagi. Kali ini ada sebentuk garis senyum tersirat. Bolehkah kusimpulkan bahwa itu adalah bentuk perhatian dari Ibu?
“Iya, Bu, insya Alloh.”
“Ya.”
“Terima kasih, Bu,” kuputuskan untuk mengakhiri pembicaraan saat aku merasa tidak bisa mengendalikan emosiku.
Setelah kututup telpon, aku menangis sepuasnya. Hatiku masih saja sakit, kecewa, sedih walaupun tak bisa dipungkiri bahwa aku juga sangat bahagia dengan sebentuk perhatian Ibu. Walaupun itu sangat kecil.
Ibu....... Ainy kangen!!!

.........o0o.........

Hari ini ada syukuran tujuh bulanan calon jabang bayiku. Baskoro sudah menyiapkan segalanya. Dari pagi dia sibuk membersihkan rumah untuk acara syukuran nanti malam. Simbok sedari pagi juga sudah bercengkerama dengan dapurnya. Aku turun tangan membantu simbok. Hari ini aku sangat bersemangat. Beberapa kali simbok mencegahku untuk tidak terlalu capek, tapi beberapa kali itu pula kukatakan aku baik-baik saja.
Menjelang sore, semua sudah siap. Tempat untuk pembacaan doa, makanan, bingkisan untuk para tamu juga kembang tujuh rupa sebagai simbolis untuk calon jabang bayiku.
Segera aku mandi setelah kupastikan semua beres.
Selesai mandi dan menghias diri secukupnya, aku segera menemui simbok kembali. Langkah ringanku terhenti mendadak. Dadaku bergemuruh hebat saat aku melihat simbok tidak sendirian. Simbok tengah merapikan piring dengan Liana, adikku yang saat ini masih kuliah semester awal. Tapi bukan Liana yang membuatku shock. Tapi sosok lain disamping simbok, yang tengah duduk membelakangiku.
“Ibu...” terasa parau suaraku terdengar.
Wanita yang kupanggil Ibu itu beranjak dari simbok dan berjalan pelan menghampiriku. Dan sekarang Ibu tepat berdiri di depanku. Ibu tidak sedang melihatku, tapi Ibu tengah menatap calon cucunya. Tangannya perlahan terulur. Menggapai perutku yang mulai buncit. Hatiku tergetar. Bahuku terguncang pelan. Sebutir air mata meluncur cepat dari mataku, dan mendarat dengan sempurna di punggung tangan Ibu.
Ibu langsung menatapku. Sungguh... Setelah sekian lama, tatapan teduh itulah yang sangat kuharapkan singgah di penglihatanku. Walau sebentar. Hanya beberapa detik dari waktu yang aku punya.
“Ain...”
“Ibu, maafin Ain...”
Ibu memelukku. Merengkuhku dalam kehangatannya. Aku tersedu di bahunya. Sehebat apapun seorang anak, sesukses apapun seorang anak, pastilah ingin merasakan saat-saat seperti ini. Merasakan pelukan seorang Bunda. Apalagi aku yang bukan apa-apa dan bukan siapa-siapa. Sangat merindukan saat-saat seperti ini, tentunya.

........o0o.........
  
Dua bulan berikutnya, putriku terlahir sempurna di dunia. Dengan ditemani suami, Ibu juga Lyliana, aku membawa Refa, nama yang diberikan suamiku untuk bidadariku, pulang ke rumah. Refa terlahir sempurna dengan kulit putih, hidung mancung, dan pipi yang sangat chubby. Satu lagi yang kusukai dari Rafa, rambutnya yang sedikit berombak, persis dengan rambutku. Melihatnya seperti melihat kesempurnaan hidup. Seakan tiada keinginan apa-apa lagi yang kupunya. Refa saja sudah cukup.
Hari demi hari. Minggu demi minggu. Bulan demi bulan berlalu. Aku sangat menikmati statusku sebagai seorang Ibu. Melihatnya tumbuh sangatlah menghiburku, memberiku kebahagiaan yang berlimpah saat aku merasa kesepian ditinggal suamiku. Hingga saat Refa menjelang berusia 9 bulan, aku dikejutkan oleh kedatangan Sylvi, suami pertama Baskoro. Kehadirannya benar-benar membuatku bagai seekor hewan peliharaan yang sudah merasa nyaman dengan majikannya kemudian harus dilepas di tengah jalanan. Aku merasa telah keluar dari area rasa nyaman. Dan aku belum siap untuk ini.
Sylvi datang dengan paras memerah, sepertinya menahan amarah, tidak seperti biasanya yang cukup terlihat familiar. Benar saja, tanpa kutahu maksud kedatangannya, dia langsung memarahiku. Dia bilang gara-gara aku punya anak, Baskoro jadi lebih banyak meluangkan waktu untukku dan Refa. Uang Baskoro juga banyak tersita untuk keperluan Refa, termasuk juga susu Refa yang mahal tentunya. Sylvi benar-benar marah, marah dan marah.
Jika sebelumnya aku selalu merasa harus mempertahankan hidupku dengan Baskoro, kali ini aku seperti enggan. Aku merasa dihina dan didzolimi hingga batas yang tidak bisa kukendalikan. Aku juga marah dengan Sylvi, hanya bedanya, aku menyimpannya dalam hati. Tiba-tiba aku merasa tidak berharga. Aku harus keluar dari semua ini. Aku harus membiarkan Baskoro dengan pilihannya. Aku tidak bisa menyalahkan Sylvi, karena baru saja aku mengetahui yang sebenarnya bahwa usaha yang dirintis oleh Baskoro selama ini adalah warisan dari orang tua Sylvi, dalam artian, Baskoro tidak memiliki apa-apa.
Aku benar-benar terkejut dengan statement-statement yang dilontarkan Sylvi. Jadi selama ini, aku hanya menjadi benalu bagi Sylvi?! Sungguh, aku tidak bisa memaafkan diriku sendiri!
Sylvi masih saja menghujaniku dengan kalimat-kalimat pedasnya saat kurasakan kepalaku begitu pusing, tulang-tulang tubuhku terasa lunglai, dan penglihatanku mulai kabur, dan hanya teriakan tertahan dari bibir Sylvi yang kudengar menyebut namaku, hingga akhirnya aku terkapar...

.........o0o.........

Mataku terbuka pelan saat kudengar senandung Al-Qur’an terdengar lirih ditelingaku. Saat kucoba untuk bangun, kurasakan kepalaku begitu berat dan kemudian terpuruk lagi di bantal. Wanita yang tengah memakai mukena dan membacakan Al-Qur’an itu menghampiriku.
“Ibu...” pekikku dalam hati.
Ibu membantuku duduk bersandar. Beliau mengambilkan segelas air putih untukku. Tanganku gemetar meraih gelas itu. Dibantu Ibu aku meneguk air putih itu sedikit. Setelah itu, Ibu meletakkannya kembali di meja. Kulihat wajah Ibu sekilas. Matanya basah. Jeda masih tercipta diantara kami. Tiada sepatah kata pun yang berani keluar dari bibirku. Aku benar-benar membisu. Demikian juga Ibu. Ibu hanya menatapku. Mungkinkah Ibu tahu apa yang baru saja terjadi? Bagaimana Ibu bisa sampai disini? Dimana Refa? Dimana suamiku? Begitu banyak pertanyaan yang ingin kulontarkan, tapi bibirku masih rapat. Hanya mataku yang terus menyelidik, mencari tahu ada apa dengan Ibu?
Kulihat sebutir kristal bening meluncur di pipi Ibu. Spontan aku menghapusnya. Jariku menyentuh pipinya yang keriput. Sudahlah, biarkan aku kembali pada Ibu saja. Menemani Ibu di masa tuanya, terikku dalam hati, menahan amarahku terhadap keegoisanku.
“Ibu...” panggilku pelan, tertahan.
Ibu tersenyum tipis. Beliau mengusap dahiku pelan.
“Sudahlah, ikhlaskan semua, Nduk...” lirih kudengar suara Ibu, seakan terhadang oleh air mata yang ditahannya.
Aku memeluk Ibu erat. Ibu membelai rambutku pelan. Di dalam pelukan Ibu, aku melihat Refa tengah digendong oleh Liana. Aku tersenyum diantara kesedihanku.

Ya, Ibu benar. Aku harus mengikhlaskan semua, kecuali Refa. Apapun yang terjadi aku akan tetap mempertahankan Refa. Karena dia lah satu-satunya hal terindah yang kupunya. Satu-satunya energi yang mampu menguatkanku. Refa, maafkan Ibu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar