Rindu itu terus memenjarakanku. Pada suatu ruang kosong yang hampa, bahkan tak kulihat ada cahaya sedikit pun di ruangan ini. Tapi tahukah, sahabat? Walaupun ruangan yang kutempati ini terasa hampa tapi hatiku dipenuhi dengan nuansamu. Pelangimu. Warna-warni kisahmu.
Ada bagian terang yang terjadi diantara kita. Ada sisi gelap yang pernah kita lalui bersama. Semua seakan terangkum dengan sempurna di tiap halaman buku kita. Hingga saat jarak terentang diantara kita, kita mulai membiarkan beberapa halaman kosong tanpa kisah. Ah, apakah selamanya halaman-halaman berikutnya akan terus kita kosongi, sahabat? Lihatlah, lembaran putih itu sepertinya merindukan kisah-kisah kita. Merindukan tarian pena kita. Merindukan bercengkerama dengan cerita konyol kita. Ah, apakah saat-saat itu juga menjadi moment-moment mengasyikkan dalam perjalanan kita, sahabat?
Ingatkah kau dengan imajinasi kita waktu itu? Saat kita berkhayal suatu saat nanti kita akan mendirikan gedung sekolah yang full colour dilengkapi dengan guru-guru yang super gaul. Dengan kantin besar full AC dan full music. Dengan ruang kelas yang sangat memungkinkan muridnya tertidur dengan pulas.
Hahaha...
Lalu kita tertawa bersama. Dan kemudian mulai beranjak menuju imajinasi selanjutnya.
Masih ingatkah kau saat kita asyik berkhayal tentang rumah tangga kita, sahabat?
Keinginan kita untuk tinggal satu kompleks setelah menikah nanti. Bahkan kita sudah mengaturnya dengan detail siapa-siapa saja yang ‘berhak’ tinggal di kompleks tersebut. Dan menyingkirkan beberapa teman yang tidak kita suka lalu menempatkannya di kompleks lain yang letaknya bersebelahan dengan kompleks kita.
Hahaha...
Lagi-lagi kita tertawa sembari memegangi perut.
Di lain waktu, saat beberapa menit berlalu guru tak kunjung juga terlihat batang hidungnya di kelas, maka imajinasi diantara kita pun akan dimulai lagi. Salah satu topik yang harusnya tidak kita bahas saat itu adalah, nama anak.
Hahaha...
Apakah saat itu kita terlihat bodoh ataukah terlihat lebih ‘matang’ sebelum usia? Entahlah, yang jelas kita mulai memikirkan sebuah nama.
Teo Antariksa Anugrah Cahya.
Nama itulah yang pertama kali nyangkut di otakku. Nama yang kuambil dari inisial nama salah satu teman sekelas kita yang sangat usil namun mampu membuatku menderita amnesia sepanjang malam. Ah, jika kuceritakan kembali tentang cowok usil itu, pastinya akan panjang dan lama, karena ceritanya tidak pernah usai. Tetap ada hingga detik ini, lebih dari lima belas tahun lamanya.
Dan seperti biasa, kamu akan berujar, “bosen ah, yang lain!”
Ok. Dan aku pun mulai menceritakan kisah yang lain padamu. Kisah yang semakin ke sini semakin mendekati nama itu lagi, dan akhirnya nama itu lagi-lagi aku perdengarkan untukmu. Dan beberapa saat setelah kamu tersadar bahwa aku lagi-lagi menceritakan kisah itu lagi, maka kamu akan segera beranjak dariku, meninggalkanku yang tengah terkikik sendiri.
Di beberapa lembar yang lain akan tersaji kisah-kisah konyol kita yang lainnya. Seperti siang itu saat kita berempat menjemput senja di sebuah cafe kecil, langganan kita. Tidak di sekolah, tidak di jalan, tidak di cafe itu juga, tawa mengiringi sepanjang perjalanan, bahkan saat pantat kita berhasil menyentuh kursi pun, tawa kita masih mengembang.
Sejenak terdiam saat seorang pelayan cafe datang.
“Mau pesan apa, Mbak?” tanya perempuan cantik tersebut ramah.
“Ehm, kamu apa, Dev?” Rina menyenggolku.
“Ehm, es putri salju aja dech..”
“Weleh, terobsesi jadi putri salju nggak kesampaian ya, buk?” sela Hesti menggodaku.
“Hush, udah, kamu pesan aja!” omel Rina.
Aku terkikik sendiri.
Es bumi hangus, es cinderella dan es teller adalah pesanan berikutnya yang dicatat oleh si embak.
“Es putri salju sama cinderella ada bedanya nggak ya? Jangan-jangan cuman judul doang yang beda,” bisik Rina lirih.
“Ya jelas beda donk, Rin. Yang beda tuh pangerannya, masak pangeran punya dua cewek, putri salju sama cinderella, selingkuh donk,” jawab Hesti asal.
Hahaha...
Spontan kami tertawa.
Selang beberapa menit kemudian, pesanan kami datang.
Obrolan dan tawa mewarnai sepanjang kebersamaan itu. Tiba-tiba...
“Ini cerry beneran apa mainan ya?” gumam Rina sembari mengangkat sepotong buah cerry dari gelasnya.
“Hahaha, ya beneran donk, Rin,” seru Derra.
“Eh, tapi kayak mainan lho, Der. Tuh liat, kayak terbuat dari plastik kan?” tambah Hesti.
“Coba gigit aja, Rin,” usulku.
Rina segera tengok kanan dan kiri.
“Banyak orang, ntar kalo ternyata cuma aksesoris gimana?” Rina masih ragu.
“Ya udah kalau gitu cuekin aja deh,” sela Derra akhirnya.
Sejenak kami pun melupakannya. Tapi bukan Rina jika dia tidak menemukan jawaban atas rasa penasarannya itu. Tanpa sepengetahuan kami, Rina membawa pulang buah cerry tersebut. Dan keesokan harinya saat kami bertemu di kelas, Rina menceritakan bahwa buah cerry tersebut ternyata beneran bukan aksesoris. Spontan pertanyaan kami sama, “kok tahu?” dan saat Rina menceritakan ‘perbuatan buruk’nya tersebut kami hanya mampu tertawa terpingkal-pingkal. Hahaha...
Katakan, apakah kamu sudah melupakan saat-saat itu, sahabat? Semoga saja tidak!
Adakah bagian dari perjalanan kita yang tidak menjadi cerita, sahabat? Bahkan bad moment sekalipun tetap kita uraikan dengan bahasa sesantai mungkin, tanpa beban, seolah yakin bahwa semua akan baik-baik saja, menyadari bahwa akan selalu ada sahabat di setiap langkah kita. Ah, bagaimana denganmu, sahabat? Apakah kamu merasakan hal yang sama?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar